Jakarta (ANTARA News) - Menteri Perdagangan Mari E Pangestu mengatakan perundingan ulang (renegosiasi) kesepakatan perdagangan bebas ASEAN-China (ACFTA) membutuhkan kompensasi yang besar dan harus melibatkan negara anggota ASEAN lainnya, sehingga pemerintah memilih opsi pembicaran khusus dengan China.
Pada rapat dengar pendapat dengan Komisi VI DPR-RI, di Jakarta, Senin, Mendag menjelaskan posisi Indonesia dalam pelaksanaan ACFTA yang dikhawatirkan banyak pihak akan membuat produk industri nasional kalah bersaing di pasar domestik.
Pada kesempatan itu ia mengatakan pemerintah telah melakukan berbagai langkah agar kekhawatiran tersebut tidak terjadi, antara lain melalui pembicaraan khusus dengan pemerintah China.
Diakui Mendag melalui keterangan pers yang diterima ANTARA, ada opsi untuk menunda pelaksanaan ACFTA serta melakukan renegosiasi khususnya untuk 228 pos tarif yang dikhawatirkan akan mengalami kerugian, karena kalah bersaing dengan produk China.
"Namun akhirnya, opsi yang dipilih adalah melakukan pembicaraan khusus dengan pemerintah China, karena renegosiasi, selain biayanya mahal karena Indonesia harus memberikan kompensasi yang besar, opsi itu juga sulit dilakukan karena harus melibatkan negara ASEAN lainnya," kata Mendag.
Sedangkan opsi pembicaraan khusus, kata dia, bisa lebih komprehensif dan tidak sebatas membicarakan masalah 228 pos tariff saja sehingga opsi ini lebih menguntungkan," kata Menteri.
Jika pemerintah tetap memilih opsi renegosiasi, lanjut dia, maka perundingan ulang itu harus dilakukan sesuai dengan pasal-pasal dalam dokumen ACFTA. Sesuai dengan Article 6 ACFTA, sebagai konsekuensi perundingan ulang itu, Indonesia harus meningkatkan nilai kompensasi mendekati nilai modifikasi. Nilai 228 pos tarif yang rencananya direnegosiasi sebesar 1,2 miliar dolar AS, bandingkan dengan nilai 105 pos tarif yang hanya 43 juta.
Di samping itu, kata Mendag, opsi renegosiasi mengharuskan Indonesia untuk lebih dahulu melakukan notifikasi kepada semua "parties with supplying interest" dalam hal itu seluruh ASEAN dan China). "Itu bisa menyebabkan negara ASEAN lain dapat ikut meminta kompensasi dari Indonesia," katanya.
Jangka waktu penyelesaian juga menjadi lebih lama karena karena harus melihat setiap pos tarif yang diminta. "Selain itu, opsi renegosiasi dapat mengganggu citra Indonesia di berbagai forum internasional, karena menunjukkan ketidakpastian kebijakan yang akan berdampak ke sektor lain, seperti investasi," kata Mari.
Kondisi tersebut, lanjut dia, akan sangat berbeda dengan opsi pembicaraan khusus. Dengan memilih opsi itu, Indonesia tidak membutuhkan notifikasi kepada semua "parties with supplying interest" sehingga tidak perlu memberikan kompensasi kepada negara ASEAN lainnya.
"Selain itu, jangka waktu penyelesaian relatif lebih singkat dan Indonesia tidak perlu memberikan kompensasi kepada China," ujar Mari.
Ia menilai opsi pembicaraan khusus lebih komprehensif dan aktual dengan kegiatan yang bertujuan meningkatkan daya saing industri yang berpotensi mengalami dampak akibat ACFTA, khususnya industri di Indonesia.
Kesepakatan tersebut bersifat komprehensif, kata dia, karena bukan hanya kesepakatan untuk mendorong pertumbuhan perdagangan yang lebih berimbang dan saling menguntungkan saja, tetapi juga menyepakati langkah-langkah untuk meningkatkan daya saing seperti, mendorong investasi, pembangunan infrastruktur, fasilitas kredit dan kerjasama lainnya.(R016/B012)
Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010