Yogyakarta (ANTARA News) - Kalau tak ada aral melintang, Muktamar Satu Abad Muhammadiyah 3-8 Juli 2010 di Yogyakarta, akan diisi pula oleh pemutaran film "Sang Pencerah" dan "Si Anak Kampung."

Ini kali pertama organisasi keagamaan memutar film di perhelatan resminya, tapi tentu saja kedua film itu bukan seperti dalam bayangan Anda. Dan ada hal penting dari itu, bahwa film sepertinya mulai dilihat dari perspektif lain, yaitu agen rekonstruksi sosial dan alat kebudayaan, tidak semata hiburan dan hiburan.

"Kalau susastra mengisahkan masa lalu dan drama berorientasi kepada masa depan, maka film menempati kekinian yang kekal," kata pakar estetika terkenal, Susanne Langer, dalam "Feeling and Form (1953).

Mungkin ini yang disasar Muhammadiyah, membuat dirinya relevan dan hidup di setiap zaman.

Dari situ pula mungkin "Sang Pencerah" dan "Si Anak Kampoeng" yang saat ini tengah digarap, memanggul misi tetap merelevankan, mengaktualkan, dan mengekalkan pesan kebajikan dari sebuah organisasi bernama Muhammadiyah.

Untuk membuat karyanya mendalam, sutradara film "Sang Pencerah" Hanung Bramantyo pada Maret 2010 melakukan survei lokasi di Yogyakarta untuk memperkuat seting cerita dalam film yang berkisah tentang kehidupan KH Ahmad Dahlan, sang pendiri Muhammadiyah.

Hanung melihat langsung surau yang didirikan Ahmad Dahlan dan sebuah rumah yang pernah menjadi tempat tinggal tokoh ini di Kampung Kauman, Kota Yogyakarta.

"Saya dulu besar di wilayah ini. Saya tinggal di kampung Ngasem, tidak jauh dari Kauman. Dulu saya mengira surau ini adalah gudang, tetapi ternyata memiliki nilai sejarah," kata Hanung.

Ia mengatakan, kedatangannya ke Kauman sekaligus untuk meminta izin warga setempat, karena mereka pasti terganggu saat syuting "Sang Pencerah" yang rencananya mulai Mei depan.

Hanung menjamin, surau dan bekas rumah KH Ahmad Dahlan itu tidak akan digunakan sebagai lokasi syuting, karena kru film akan membangun seting baru.

"Dahulu pada 1889 di dekat surau ada sebuah pohon sawo, dan bangunan surau masih satu lantai. Tetapi sekarang sudah dua lantai, sehingga tidak mungkin untuk lokasi pengambilan gambar. Kami akan membangun lokasi baru," katanya.

Pencerahan

Hanung ditemani dua aktor yang akan bermain dalam film kolosal itu, Lukman Sardi yang akan memerankan KH Ahmad Dahlan dan Slamet Rahardjo sebagai Kyai Penghulu Kholil Kamaludiningrat.

"Saya memiliki beban berat untuk memerankan tokoh ini. Tetapi juga merasa mendapatkan penghargaan yang besar, karena diminta untuk menjadi sosok KH Ahmad Dahlan," aku Lukman.

Ia menyebut dirinya memiliki perbedaan mencolok dengan KH Ahmad Dahlan, namun akan berusaha maksimal untuk memahami jalan pikiran dan perjuangan Pahlawan Nasional itu.

"Saya sangat berharap film ini bisa menjadi pencerahan bagi generasi muda," katanya.

Sementara Slamet Rahardjo mengaku salut kepada Hanung yang berupaya membuat film berisiko tinggi tersebut.

"Membuat film seperti ini memiliki risiko besar, karena film yang dibuat Hanung tidak populer," katanya.

Meski begitu, Slamet berharap seluruh warga Muhammadiyah menyaksikan film itu saat diputar di bioskop, sehingga masuk "box office".

Lain halnya dengan "Si Anak Kampoeng", pada pekan keempat April ini akan memulai pengambilan gambarnya di wilayah Yogyakarta, setelah beberapa waktu lalu syuting di Kabupaten Sijunjung, Sumatra Barat.

Film ini, mengutip Direktur Eksekutif Maarif Institute Fajar Riza Ul Haq, diangkat dari kisah perjalanan hidup Buya Syafii Maarif, mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, seperti terangkum dalam buku otobiografi `Titik-titik Kisar di Perjalananku` (2006-2009).

Meskipun film ini ibarat otobiografi Buya Syafii Maarif dalam versi digital, namun gagasannya datang dari Damien Dematra, penulis novel dan sutradara muda.

"Yang menarik, Damien terinspirasi untuk membuat film ini tidak lama setelah ia berjumpa dengan Buya Syafii atas rekomendasi Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid)," kata Fajar Riza.

Harus dipertimbangkan

Fajar mengungkapkan, pada mulanya Buya Syafii keberatan dengan ide itu, dan meminta Damien menyampaikan gagasannya itu kepada Maarif Institute.

"Kami cukup lama mendiskusikannya sebelum akhirnya memutuskan untuk membantu merealisasikan gagasan pembuatan film `Si Anak Kampoeng`", katanya.

Fajar mengharapkan film-film semacam ini menjadi tonggak baru dalam konteks inovasi media dakwah kultural Muhammadiyah di era abad ke-2 organisasi Islam itu.

"Kehadiran film ini nanti diharapkan menjadi kado bagi peristiwa bersejarah Satu Abad Muhammadiyah, karena dari sisi kebiasaan, mengangkat kisah tokoh Muhammadiyah ke layar lebar merupakan suatu hal yang tidak lazim, termasuk novelisasi dengan terbitnya novel `Si Anak Kampoeng` yang diadaptasi dari skenario film ini," katanya.

Fajar meyakini ranah-ranah pop seperti ini harus mulai dipertimbangkan dalam strategi dakwah di kalangan ormas Islam.

Sang sutradara, Damien Dematra, mengatakan, film yang direncanakan diputar perdana pada Muktamar Satu Abad Muhammadiyah itu mengambil seting Tanah Minangkabau, Padang, Sumatra Barat, dan Yogyakarta.

Dua daerah ini adalah kota bersejarah bagi gerakan Muhammadiyah.

"Yogyakarta merupakan kota terpenting dalam perjalanan hidup seorang Syafii Maarif, karena dari seorang perantau biasa yang menuntut ilmu di perguruan Muhammadiyah, Mu`alimin, hingga menjadi pemimpin tertinggi organisasi Muhammadiyah," katanya.

Bahkan, katanya, Syafii Maarif kini didaulat oleh banyak pihak sebagai guru bangsa yang diakui integritasnya.

Syuting film ini mengambil beberapa tempat di Yogyakarta yang memiliki ikatan sejarah dan emosional dengan Syafii Maarif, seperti kantor sekretariat PP Muhammadiyah, gedung Mu`alimin, dan Pantai Parangtritis di Kabupaten Bantul.

"Buya Syafii sering mengilustrasikan keberuntungan perjalanan hidupnya, karena semata-mata terdampar ke tepian ombak, karena belas kasihan dari ombak. Jadi, simbolisasi Buya dan pantai tidak terpisahkan dalam skenario film ini," demikian Damien. (*)

M008/Z002/AR09

Oleh Masduki Attamami
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010