Takut terlalu manis atau kurang gurih
Jakarta (ANTARA) - Makanan sehat (healty food) kini semakin digandrungi masyarakat di ibu kota
dan kota-kota besar lainnya di Indonesia.
Bahkan masyarakat rela mengeluarkan uang sedikit lebih mahal untuk mengikuti gaya hidup sehat itu.
Rupanya hal ini yang menjadi latar belakang bagi pasangan Shara Refla dan Rachel Immelda Intan Prasojo dari Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, Jawa Tengah, menciptakan pasta berbahan baku bubur (puree) jagung dengan labu.
Keduanya bahkan menjadi pemenang pertama kompetisi inovasi makanan olahan berbahan dasar sayuran yang diselenggarakan produsen benih sayuran nasional PT East west Seed Indonesia (Ewindo).
Shara membutuhkan riset selama dua bulan untuk mendapatkan komposisi yang tepat agar
makanan sehat olahannya itu terasa lezat, tidak kalah dengan pasta lain yang beredar di pasar.
Shara juga mengungkapkan selama dua bulan pasta produksinya itu diuji kepada anggota keluarga dan teman-teman dekat untuk meminta tanggapannya.
"Takut terlalu manis atau kurang gurih," kata Shara terkait uji coba yang dilakukannya itu.
Dewan juri lomba terdiri atas Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian IPB Prof. Dr. Ir. Hanny Wijaya, M. Agr, Guru Besar Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati ITB Sub Bidang Bioteknologi Mikroba Dr. Ir. Pingkan Aditiawati, MS, Chef Park Hyatt Hotel Jakarta Anggit Rinekso, Dewan Penasihat Ewindo Karen Tambayong dan Deputi Direktur SDM Ewindo Fransiska Fortuna.
Mereka dibuat kagum dengan rasa pasta yang dibuat kedua mahasiswa semester III ini.
Shara mengatakan rasa manis yang didapat dari pasta buatannya itu tidak berasal dari gula atau
pemanis buatan. Semuanya bersumber dari jagung manis dan labu sehingga cocok dikonsumsi bagi mereka yang sedang diet atau bagi manula.
"Menggunakan kemasan dalam botol hampa membuat pasta tersebut dapat disimpan dalam kulkas sampai dengan 14 hari tanpa mengubah rasa maupun warna," kata Shara saat mempresentasikan hasil karyanya di hadapan dewan juri.
Mengagumkan
Hanny Wijaya mengaku kagum dengan karya-karya mahasiswa yang dipresentasikan dalam ajang kompetisi inovasi makanan olahan
berbahan dasar sayuran.
Hanny mengatakan makanan sehat berbahan dasar sayuran ini akan sangat membantu petani sayuran di Indonesia agar hasil panen cepat terserap. Apalagi tingkat konsumsi sayuran di Indonesia masih jauh lebih rendah dibanding negara-negara maju.
Dengan semakin banyaknya makanan olahan berbahan sayuran apalagi yang dengan masa simpan lebih lama tentunya akan membuat tingkat konsumsi masyarakat meningkat serta petani sayuran tentunya akan semakin sejahtera.
Hanny melihat karya-karya mahasiswa ini bisa menjadi komoditi ekonomi dengan sedikit
pengembangan di sana-sini. Dia berharap karya-karya itu tidak berhenti sampai batas kompetisi
namun juga dapat dikomersialkan.
Hanny mengatakan syarat sebagai healthy food dan functional food tetap harus memiliki cita rasa, di samping hal lain seperti energi dan metabolisme sehingga memang tidak mudah untuk menghasilkan karya-karya seperti itu.
Menurut dia butuh riset yang cukup lama agar inovasi makanan dapat disukai pasar. Sebagai contoh apabila ditujukan untuk konsumsi anak-anak maka makanan itu cenderung renyah dan gurih.
Memang butuh teknologi agar makanan sehat bisa renyah dan gurih. Namun karya-karya mahasiswa ini apabila digarap lebih serius akan sukses di pasar mengingat inovasinya dan cita rasanya sudah sesuai tinggal dilakukan perbaikan.
Baca juga: Cara Jakarta memenuhi kebutuhan sayuran
Selain pasta dari bubur jagung dan labu sebagai pemenang pertama, pemenang kedua juga masih diraih tim Universitas Kristen Satya Wacana yang diberi judul "Wedang Ronde Kaya Anti Oksidan". Sedangkan pemenang ketiga dari tim Institut Pertanian Bogor mengusung "Nutrackers-Inovasi Snack Sehat Bebas Gluten Dan Kasein Serta Tinggi Betakaroten Bagi Anak Autisme".
Selain tiga pemenang utama, dewan juri juga menempatkan dua tim masing-masing dari Universitas Sriwijaya dengan karya "kerupuk dari labu kuning". Politeknik NSC Surabaya dengan karya "kue kering berbahan
dasar wortel dan bayam" sebagai nominator.
Francies Seva Gentaarinda yang juga mahasiswa semester III sebagai salah satu penemu wedang ronde berbahan sayuran mengaku tidak menyangka karya yang disajikan akan menjadi juara kedua.
Inovasinya ini berdasarkan temuan wedang ronde di daerahnya yang bahannya itu-itu saja, yakni tepung ketan dengan kacang di dalamnya disajikan dengan kuah jahe dan gula merah. Dalam karya ini wedang ronde yang disajikan menggunakan wortel dan daun suji untuk pewarna ketannya.
Francies mengatakan biaya produksi per porsi wedang ronde yang dibuatnya justru jauh lebih murah dengan yang ada di pasaran. Dia berencana menjalankan bisnis wedang rondenya di lingkungan kampus berdasarkan masukan yang diterima dari dewan juri.
Perjuangan
Direktur SDM Ewindo Fransiska Fortuna terharu dengan perjuangan para mahasiswa
ini dalam membuat inovasi makanan sehat.
Fransiska melihat dari video yang dibagikan mahasiswa itu sebagai syarat mengikuti lomba. Ada yang menggiling bahan baku dengan alat seadanya agar bisa menjadi tepung sebelum akhirnya diolah menjadi makanan.
Berdasarkan penilaian-penilaian seperti itu, dewan juri meloloskan lima nominator
kompetisi makanan sehat. Padahal peserta yang ikut serta mencapai 28 proposal
dari 20 perguruan tinggi.
Kriteria karya yang masuk nominasi berdasarkan sejumlah penilaian namun penggunaan sayuran sampai dengan 50 persen, rasa, orisinalitas karya, serta daya tahan produk memiliki bobot paling tinggi.
Tidak hanya itu. dalam rangka memperingati HUT Ewindo ke-30, Fransiska juga tengah melombakan inovasi bertanam sayur di lahan sempit. Saat ini sudah masuk 44 proposal dari 27perguruan tinggi.
Sedangkan Managing Director Ewindo, Glenn Pardede mengakui untuk melakukan inovasi di tengah pandemi COVID-19 ini bukanlah perkara yang mudah. Tidak semua produk makanan dapat diuji coba kepada masyarakat sehingga terobosannya hanya dari kalangan terbatas keluarga dan teman-teman.
Glenn sangat mengapresiasi dengan tingginya minat mahasiswa mengikuti kompetisi inovasi ini. Karya-karya mahasiswa ini sangat cocok diterapkan di masyarakat yang selama pandemi ini memiliki gaya hidup sehat dengan mengonsumsi makanan yang mampu meningkatkan imunitas.
Baca juga: Bulir-bulir padi di antara gedung bertingkat
Apalagi tingkat kesadaran masyarakat mengkonsumsi sayuran masih jauh di bawah standar Food and Agriculture Organization (FAO). Yakni hanya 180 gram per kapita per hari sementara standar FAO 400 gram per kapita per hari.
Perubahan gaya hidup di kalangan generasi muda saat ini diikuti dengan perubahan tren kuliner yang cenderung meniru kuliner negara-negara modern seperti Amerika, Italia, Jepang dan Korea.
Umumnya kuliner yang diadopsi berupa kuliner cepat saji yang rendah serat, berbahan dasar tepung, berperisa dan berkadar gula tinggi sehingga berpotensi munculnya gangguan kesehatan mulai dari obesitas, jantung coroner, kanker, stroke, gagal ginjal, diabetes melitus hingga hipertensi.
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas 2018), persentase orang-orang yang mengalami kelebihan berat badan kini lebih 13,6 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Sementara itu, untuk persentase orang-orang yang mengalami obesitas mencapai 28,1 persen dari jumlah penduduk.
Melalui kompetisi ini, persepsi masyarakat harus dapat diubah melalui inovasi,pengadaan sayuran juga dapat dilakukan secara mandiri oleh setiap keluarga dengan memanfaatkan pekarangan rumah masing-masing, untuk ditanami sayuran. Pemanfaatan pekarangan saat ini dapat dilakukan dengan sederhana atau dengan sentuhan teknologi seperti hydroponic, aquaponik, wall gardening, micogreens dan lain-lain.
Patut juga diingat apa yang kita makan sekarang belum tentu tercukupi nutrisinya. Bisa saja secara makanan kita kenyang tetapi dari segi nutrisi masih kekurangan.
Inovasi yang disampaikan pemenang kompetisi apabila dikembangkan setidaknya bisa menjadi alternatif kebutuhan nutrisi di masyarakat.
Baca juga: Mereka yang ikut andil menjaga pangan untuk warga Jakarta
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2020