Indonesia luas

Jakarta (ANTARA) - Tepat di Hari Pahlawan 10 November 2020,
seorang pemuda berusia 25 tahun bernama lengkap Muhammad Maahir Abdulloh pulang dari ekspedisinya menjelajahi nusantara dengan bersepeda.

Di antara semua eforia, pelukan, sapaan dan decak kagum rekan-rekan yang menanti kepulangannya dari perjalanan yang menginspirasi, pelukan hangat wanita paruh baya menjadi penantiannya.

Dialah sang ibu, yang dipanggilnya Ummi, sudah 975 hari tak bertemu dengannya.

Maahir--sapaan akrab pemuda asal Ciracas, Jakarta Timur, itu seorang relawan kemanusiaan dari Palang Merah Indonesia (PMI) Jakarta Selatan. Dia menuntaskan obsesinya menjelajah nusantara dari putaran roda sepedanya.

Dengan mengayuh pedal sepeda keluaran tahun 1993 buatan Indonesia, Maahir melintasi 34 provinsi, 63 kota, 214 kabupaten, mendaki tujuh puncak gunung tertinggi (seven summit) Indonesia, menyelam tiga spot diving dan menginisiasi empat taman bacaan.

Sepeda gunung (MTB) merk Federal seri "BobCat" telah mengantarkan menjelajahi jalanan nusantara sejauh 21.926 kilometer jaraknya, belum termasuk jarak tempuh saat menyeberang pulau dengan kapal yang ditumpanginya.

Ekspedisi itu dimulainya pada 11 Maret 2018,. Dia berangkat dari Markas PMI Jakarta Selatan, melewati tiga kali lebaran dan tiga kali ulang tahun bertambahnya usia di jalan. Ekspedisinya tuntas setelah dia bersama sepedanya kembali ke titik awal saat "start" tepat di Hari Pahlawan.

"Saya terharu tapi dari semuanya yang saya tunggu dan saya nanti tetaplah ibu saya, tanpa beliau saya bukan apa-apa, sehebat-hebatnya saya mendaki gunung," katanya.

"Sehebat-hebatnya saya bersepeda tetap ibu lah, tanpa ibu saya tidak bisa apa-apa, saya kecil," kata Maahir setelah menutup perjalanan penjelajahannya di Markas PMI Jakarta Selatan, Selasa (10/11).

Merawat Mimpi
Sebagai penjelajah sepeda di Indonesia, Maahir bukanlah orang pertama. Ada banyak nama-nama "bike traveler" Indonesia yang fenomenal, sebut saja Bambang Hertadi "Paimo", pesepeda lima benua yang bukunya jadi pedoman pesepeda pemula seperti Maahir.

Maahir, pemuda kelahiran 30 Mei 1995 ini menjadi orang pertama yang menjelajah nusantara dengan gaya baru. Yakni bersepeda dan mendaki gunung dilakukan secara paralel dalam ekspedisi yang berlangsung selama dua tahun, delapan bulan.

Maahir menciptakan pengalaman baru bagi dirinya dan dunia penjelajahan sepeda dalam "Merajut Indonesia" di usia muda. Perjalanan ini dimulai dari impiannya sejak duduk di kelas empat Sekolah Dasar (SD).

Melihat Indonesia dari peta, Maahir menarik garis lurus dari Sabang (Aceh) hingga Merauke (Papau) menggunakan jengkal tangannya. "Indonesia luas," pikirnya.

Maahir membandingkan luas Indonesia tak sebanding dengan negara-negara lainnya di atas peta. Jengkal yang sama juga dia letakkan dari Singapura hingga Thailand, lalu ke Benua Afrika, satu jengkalnya melintasi empat negara, begitu juga di Eropa, tiga hingga lima negara dalam satu jengkalnya.

"Jadi Indonesia itu luas, jangan bangga kalau keluar negeri, tapi belum keliling Indonesia," ujarnya.

Pemuda lulusan Universitas Indraprasta itu mempersiapkan diri untuk mewujudkan mimpinya. Dimulai dengan uji coba tahun 2015 mengayuh sepeda keliling Jawa Barat selama sepekan, lalu pulang.

Setahun berikutnya, 2016, ia uji coba lagi selama 1,5 bulan. Bersepeda dari Jakarta ke Yogyakarta dan mendaki tujuh gunung, lalu pulang.

Tidak sampai di situ, tahun 2017, uji coba lagi bersepeda dari Jakarta ke Bali dan mendaki 14 gunung dilakukan selama dua bulan, lalu pulang.

Puncaknya, tahun 2018 dengan sepeda MTB yang dirakitnya selama satu tahun dengan modal Rp8 juta, Maahir memulai ekspedisi penjelajahan nusantara.

Menurut dia, banyak orang yang memiliki impian sedari kecil tapi tidak sanggup merawatnya sehingga mimpi tersebut tak terwujud bahkan terkubur dalam ingatan.

Maahir merawat mimpinya sedari kecil, hingga mampu mewujudkannya di kala dewasa. Yakni bersepeda keliling nusantara mendaki tujuh puncak tertinggi Indonesia.

Baca juga: Relawan PMI keliling Indonesia dengan menggunakan sepeda

Muhammad Maahir Abdulloh (25) penjelajah nusantara dengan bersepeda, disambut haru keluarganya setelah menuntaskan perjalannya di Markas PMI Kota Jakarta Selatan, Selasa (10/11/2020) ANTARA/Laily Rahmawaty/am.

Restu Ibu
Terlahir sebagai putra bungsu dari dua bersaudara, putra dari Sumaryati (51) ini tak manja. Pemuda berambut panjang ini memiliki tubuh yang prima dan tangguh untuk menuntaskan ekspedisinya.

Meski tangguh, bukan berarti Maahir kebal penyakit. Malaria membuatnya tumbang saat melakukan perjalanan di Papua dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Namun penyakit itu tidak lantas membuat semangatnya kendor untuk mengenal seluk-beluk Indonesia.

Sumaryati berbagi cerita saat menyambut kedatangan sang putra dengan penuh haru dan rasa gembira. Air mata menetes dari pimpinya setelah memuluk tubuh putranya.

Wanita yang hari-hari bekerja sebagai ibu rumah tangga, itu awalnya berat hati melepas kepergian putranya. Mengingat di rumah hanya tinggal dirinya dan putra sulungnya yang juga bekerja sebagai relawan di ACT.

Namun, dia tak kuasa menolak permintaan Maahir. Apalagi impian putranya adalah cita-citanya yang tidak terlaksana, yang sama-sama memiliki jiwa sukarelawan.

Apalagi cita-cita putranya dalam menjelajah nusantara adalah literasi, mengajar anak-anak di pedalaman dan menginisiasi berdirinya taman bacaan.

"Jadi saya persilahkan, saya cuma pernah bilang, nanti apapun yang dilakukan dia sendiri, saya ikhlas dia pergi dan berdoa terus agar diberikan keselamatan, dipertemukan dengan orang-orang baik," ujar Sumaryati.

Baca juga: Membangun Jakarta yang aman bagi pesepeda

Muhammad Maahir Abdulloh (25) disambut kedatangannya di Markas PMI Jakarta Selatan, usai menuntaskan perjalannya menjelajah Indonesia, Selasa (10/11/2020). ANTARA/Laily Rahmawaty/am.

Wabah
Wabah COVID-19 yang mulai menghantam Indonesia pada 2 Maret 2020, tidak menggoyahkan penjelajahan Maahir mengelilingi Indonesia dengan sepeda, walaupun targetnya untuk kembali pulang pada Maret 2020 mundur karena terkena "lockdown'" di Batam satu bulan lamanya.

Baginya malaria, penyakit endemik wilayah Indonesia Timur itu lebih mematikan karena malaria tidak sembuh tapi kambuh.

Sedangkan COVID-19 nenyebabkan seluruh masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke merasakan penderitaan yang sama.

Ia menganalogikan ketika rakyat Indonesia dijajah Belanda, semua merasakan kesakitan yang sama. Semua bergerak bersama-sama saling membantu hingga Indonesia merdeka.

Begitu juga dengan COVID-19, menyerang siapa saja. Kaya atau miskin, berpendidikan atau tidak berpendidikan, menghadapi penyakit yang sama.

Ketika malaria hanya menyerang Indonesia Timur, tak banyak pihak yang peduli membuka mata. Tapi ketika COVID-19 menyebar ke seluruh provinsi, banyak masyarakat dan pemengaruh (influencer) ramai-ramai memberikan bantuan.

Baca juga: Ketua DPD RI dukung DKI segera realisasikan fasilitas pesepeda

Muhammad Maahir Abdulloh (25) penjelajah sepeda menjelajahi nusantara selama dua tahun delapan bulan, Selasa (10/11/2020). (ANTARA/HO-Humas PMI Kota Jakarta Selatan)

Mencintai Lingkungan
Bagi Maahir, bersepeda adalah cara terkeren yang bisa dilakukannya, seperti warga di negara-negara maju yang memproduksi mobil, tetapi memakai sepeda sebagai alat transportasinya.

Berbeda dengan negara-negara berkembang yang tidak memproduksi mobil tapi hanya bisa membeli mobil dan memakainya.

Padahal memakai kendaraan bermesin, membuat emisi gas buang semakin tinggi dan kemacetan akan terjadi. Tapi tidak dengan sepeda, tanpa emisi gas buang, tanpa emisi suara.

Bersepeda itu adalah pilihan yang tepat menuju suatu tempat, lebih dekat ke masyarakat karena kecepatannya terbatas. "Sepeda adalah alat transportasi yang ramah lingkungan dan bebas polusi," kata Maahir.

Baca juga: Dishub DKI segera siagakan patroli untuk cegah begal sepeda

Muhammad Maahir Abdulloh (25) penjelajah sepeda disambut kedatangannya oleh para pengurus PMI Pusat, Jakarta, Selasa (10/11/2020). ANTARA/HO-Humas PMI Jaksel/am.

Indonesia Besar
Selama 973 hari menjelajah Indonesia, Maahir menemukan fakta Indonesia luas dan kaya tidak hanya dalam peta dan literatur saja. Menjelajah dan bersilaturahmi ke masyarakat dari 34 provinsi, mengajarkannya toleransi, saling menghormati dan memahami.

Tidak hanya keberagaman yang ditemukannya, Maahir juga melihat kekayaan alam Indonesia dari pendakian selama ekspedisi yang dilakukannya.

Menurut dia, Indonesia itu luas, besar dan kaya. Tapi kekayaan itu akan habis, bangsa akan terpecah-pecah dan kesatuan hilang jika tidak pernah belajar saling memahami.

Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2020