Kabul (ANTARA News/Reuters) - Pasukan pimpinan NATO di Afghanistan hari Rabu mengakui membunuh empat warga sipil Afghanistan ketika mereka melepaskan tembakan ke arah sebuah mobil di wilayah tenggara negara itu pekan ini.
NATO sebelumnya mengklaim bahwa dua dari mereka yang tewas adalah gerilyawan.
Korban-korban sipil yang diakibatkan oleh pasukan asing telah menyulut amarah besar di kalangan penduduk biasa Afghanistan dan mengurangi dukungan publik bagi kehadiran lebih dari 120.000 prajurit internasional yang memerangi Taliban di Afghanistan.
Masalah itu juga menimbulkan perselisihan serius antara Presiden Afghanistan Hamid Karzai dan mitra asing yang mendukungnya.
Selasa, NATO menyatakan melepaskan tembakan ke arah sebuah kendaraan di provinsi Khost, Aghanistan tenggara, pada malam hari tanggal 19 April, yang menewaskan dua "gerilyawan yang dikenal" dan dua rekan mereka. Seorang juru bicara mengatakan kemudian, mereka semua mungkin warga sipil.
Dalam sebuah pernyataan di media, Rabu, NATO mengatakan, mereka telah keliru menggambarkan kedua korban tewas sebagai gerilyawan. Seorang juru bicara mengkonfirmasi bahwa mereka semua warga sipil.
"Istilah `pemberontak` tidak seharusnya digunakan untuk menyebut dua orang di dalam sebuah kendaraan yang terlibat dalam insiden kekerasan di provinsi Khost pada Senin," kata NATO.
Ketika ditanya apakah itu berarti mereka semua yang tewas adalah warga sipil, juru bicara NATO Sersan Kepala Jeffrey Loftin membenarkannya.
Selasa, seorang juru bicara lain NATO, Letkol Todd Vician, mengatakan, kedua orang itu digambarkan sebagai gerilyawan karena mereka ditemukan di dalam pusat data biometrik luas militer.
Pusat data itu mencakup puluhan ribu orang sipil serta tersangka gerilyawan. Tidak satu pun dari seluruh keempat orang itu bersenjata dan tidak ada senjata yang ditemukan, kata Vician.
Saat ini terdapat lebih dari 120.000 prajurit internasional, terutama dari AS, yang ditempatkan di Afghanistan untuk membantu pemerintah Presiden Hamid Karzai mengatasi pemberontakan yang dikobarkan sisa-sisa Taliban.
Taliban, yang memerintah Afghanistan sejak 1996, mengobarkan pemberontakan sejak digulingkan dari kekuasaan di negara itu oleh invasi pimpinan AS pada 2001 karena menolak menyerahkan pemimpin Al-Qaeda Osama bin Laden, yang dituduh bertanggung jawab atas serangan di wilayah Amerika yang menewaskan sekitar 3.000 orang pada 11 September 2001.
Pasukan Bantuan Keamanan Internasional (ISAF) pimpinan NATO berkekuatan lebih dari 84.000 prajurit yang berasal dari 43 negara, yang bertujuan memulihkan demokrasi, keamanan dan membangun kembali Afghanistan, namun kini masih berusaha memadamkan pemberontakan Taliban dan sekutunya.
Kekerasan di Afghanistan mencapai tingkat tertinggi dalam perang lebih dari delapan tahun dengan gerilyawan Taliban, yang memperluas pemberontakan dari wilayah selatan dan timur negara itu ke ibukota dan daerah-daerah yang sebelumnya damai.
Delapan tahun setelah penggulingan Taliban dari kekuasaan di Afghanistan, lebih dari 40 negara bersiap-siap menambah jumlah prajurit di Afghanistan hingga mencapai sekitar 150.000 orang dalam kurun waktu 18 bulan, dalam upaya baru memerangi gerilyawan.
Sekitar 520 prajurit asing tewas sepanjang 2009, yang menjadikan tahun itu sebagai tahun paling mematikan bagi pasukan internasional sejak invasi pimpinan AS pada 2001 dan membuat dukungan publik Barat terhadap perang itu merosot.
Gerilyawan Taliban sangat bergantung pada penggunaan bom pinggir jalan dan serangan bunuh diri untuk melawan pemerintah Afghanistan dan pasukan asing yang ditempatkan di negara tersebut.
Bom rakitan yang dikenal sebagai IED (peledak improvisasi) mengakibatkan 70-80 persen korban di pihak pasukan asing di Afghanistan, menurut militer. (M014/K004)
Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010