Pertumbuhan pesat perpustakaan, taman bacaan, rumah pintar, serta mobil pintar, yang kesemuanya bermuara pada pengembangan sarana membaca dan belajar, mengundang pertanyaan lanjutan.
Mampukah pertumbuhan tersebut menjalin sinergi untuk mewujudkan masyarakat yang melek informasi?
Masyarakat melek informasi adalah masyarakat pembelajar sepanjang masa; bukan insan yang hanya bisa membaca, menulis, dan berhitung namun bagaimana manusia itu bisa bertahan hidup karena mempunyai seperangkat keterampilan pemecah masalah dengan menggunakan sumber informasi yang ada.
Hanna Latuputty, pembicara dalam simposium bertema "Pentingnya Literasi Informasi bagi Masyarakat Perpustakaan" dalam rangkaian peringatan HUT ke-28 Klub Perpustakaan Indonesia (KPI), menyebutkan, ada beberapa pemahaman yang terkandung dalam makna melek informasi.
Menurut pustakawan senior itu, melek informasi merupakan proses belajar bagaimana caranya belajar, ketrampilan itu mencakup pemahaman dan kemampuan seseorang untuk menyadari saatnya informasi diperlukan.
Juga bagaimana menemukan, mengevaluasi, dan menggunakan informasi secara efektif serta mengkomunikasikannya dengan etis.
"Ketrampilan literasi informasi merupakan persyaratan untuk berpartisipasi dalam masyarakat berinformasi, selain itu juga merupakan hak asasi manusia untuk belajar sepanjang hayat." ujar Hanna, pustakawan senior di British International School.
Hanna juga mengutip makalah UNESCO yang berjudul "Understanding Information Literacy: a primer," tahun 2007 yang menyebutkan bahwa ketrampilan melek informasi adalah satu dari enam kategori "survival literacies" abad 21.
"Literasi informasi melengkapi literasi dasar (baca tulis hitung), melengkapi literasi komputer, literasi media, literasi pendidikan jarak jauh yang memanfaatkan teknologi serta literasi budaya. Dengan demikian literasi informasi tidak dapat diimplementasikan tanpa keterlibatan bentuk literasi lainnya," kata Hanna.
Sementara itu bila melihat kondisi Indonesia dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 telah ada arahan yang jelas menuju kunci peningkatan kualitas hidup manusia dan masyarakat Indonesia.
Dalam buku II dari RJPMN itu disebutkan uraian sebagai berikut "Ditetapkannya Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan menunjukkan semakin pentingnya peran perpustakaan dalam mentransformasikan ilmu pengetahuan secara demokratis menuju masyarakat yang beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab dalam mendukung penyelenggaraan pendidikan nasional disamping sebagai pelestari nilai budaya di masyarakat (II.2-8)".
Pada bagian selanjutnya dari RJPMN 2010-2014 itu disebutkan juga bahwa terjadi peningkatan yang ditandai dengan antara lain meningkatnya sarana dan prasarana layanan perpustakaan; tersedianya 321 unit perpustakaan keliling di perpustakaan provinsi dan perpustakaan kabupaten/kota; promosi budaya baca melalui media cetak dan elektronik; berkembangnya 5.187 unit perpustakaan desa di 30 provinsi; dan seterusnya.
Pertanyaan lanjutan adalah apakah angka-angka itu efektif untuk mendongrak tumbuhnya masyarakat melek informasi, masyarakat yang bisa menjawab tantangan zaman dengan mengerahkan segenap ketrampilan yang dimilikinya?
Jambore pengetahuan
Boleh jadi, Jambore ke-2 Masyarakat Perpustakaan Indonesia pada awal Oktober 2010 merupakan jawaban untuk pertanyaan tersebut.
Jambore MPI ke-2 ini adalah kelanjutan Jambore tahun 2007 yang waktu itu dinilai berhasil karena mengumpulkan peserta 350 orang plus lima istri menteri dari Solidaritas Istri Kabinet Indonesia Bersatu (S-IKIB) dan mengikrarkan sebuah wadah kerja sama bernama Masyarakat Perpustakaan Indonesia.
Maka, Jambore ke-2 ini seolah mencoba merangkul seluruh elemen perpustakaan guna menjalin kekuatan yang dianggap efektif yang mampu memberi dampak luar biasa bagi kemajuan bangsa untuk bersama-sama mendorong terbentuknya bangsa pembelajar.
Ketua Klub Perpustakaan Indonesia Adwityani S Soebagyo selaku penanggungjawab kegiatan ini mengharapkan agar Jambore MPI ke-2 ini bisa menjadi ajang pertemuan dan komunikasi efektif antar masyarakat perpustakaan.
"Jambore ini kita jadikan ajang untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman maupun rencana ke depan untuk membudayakan perpustakaan dalam hidup keseharian masyarakat Indonesia," kata Adwityani.
Dia yang pada masa mudanya pernah menjabat salah satu direktur di Balai Pustaka ini mengharapkan siapa saja yang terkait dan peduli terhadap perpustakaan untuk ikut hadir.
"Jambore ini terbuka bagi siapa saja yang terkait dan peduli dengan perpustakaan, sumber informasi, dokumentasi dan literasi, maka kami mempersilakan sumberdaya perpustakaan dan pemustaka/pengguna untuk hadir," kata dia.
Ketua Jambore MPI ke-2 Dwi Suharyati menegaskan maksud diadakannya kegiatan tiga tahunan ini adalah untuk menggalang semua potensi dari MPI agar bisa menjadi motor penggerak dalam membudayakan cinta buku, gemer baca-tulis dan sadar perpustakaan.
Menurutnya tema utama yang akan diangkat adalah Masyarakat Perpustakaan Indonesia (MPI) cinta buku, gemar baca-tulis, sadar perpustakaan, sehat jasmani dan rohani.
Kegiatan yang dirancang pun komprehensif meliputi seminar, workshop, kampanye membaca dan perpustakaan, diskusi panel dilanjutkan dengan wisata dan cipta budaya pustaka serta yang tak kalah penting adalah olahraga dan wisata budaya.
Tambahan kegiatan berupa olahraga dan wisata budaya mengandung maksud ingin memantapkan citra bahwa orang-orang yang berkecimpung di dunia perbukuan adalah pribadi yang mumpuni, sehat, energik, lincah dan gesit.
Blasius Sudarsono, pustakawan senior dari Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PDII LIPI) menyatakan menyambut baik kegiatan itu.
Secara lebih spesifik dia menyoroti tentang hasil yang seharusnya didapat saat kegiatan kampanye membaca dan perpustakaan adalah tercipta segala bentuk kreatifitas menulis.
"Kegiatan kampanye ini adalah sebuah proses untuk berfikir, membaca dan menulis, maka hasil yang diharapkan adalah kreatifitas dalam berbagai bentuk, nah salah satunya adalah menulis," kata Blasius yang aktif menulis berbagai buku tentang perpustakaan itu.
Dia mengatakan, hendaknya hasil dari kampanye itu adalah kreatifitas dalam berbagai bentuknya.
"Bagi yang suka puisi ya buat puisi, yang suka menggambar sketsa ya silakan dan menulis adalah gerbang utamanya," ungkapnya.
Untuk itu, dia mengajak untuk mencoba menciptakan paradigma bahwa menulis itu bukan dijadikan sebagai beban tetapi menulis adalah kegiatan rekreatif yang menghasilkan dan secara ekonomis produktif, seperti tulisan-tulisan yang dimuat di situs-situs jurnalisme sipil.
"Hasil yang dicapai hendaknya mengikuti tahapan proses berfikir, membaca dan menulis dan jangan lupa bahwa menulis adalah ekspresi yang mengasilkan," katanya.
(ANT/B010)
Oleh Dyah Sulistyorini
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2010