Kuala Lumpur (ANTARA) - Badan pengungsi PBB (UNHCR) mengatakan pemerintah Malaysia tidak mengizinkan mereka untuk bertemu dengan para pengungsi dan pencari suaka yang ditahan selama lebih dari setahun karena negara itu menindak para migran yang tidak berdokumen.
UNHCR mengatakan kepada Reuters, Rabu, bahwa mereka tidak diizinkan untuk mengunjungi pusat-pusat tersebut sejak Agustus 2019, tanpa disertai alasan yang jelas.
"Sayangnya hal ini menghalangi UNHCR untuk melihat orang-orang yang ditahan untuk menentukan mereka yang membutuhkan perlindungan internasional dan untuk mengadvokasi pembebasan mereka," kata UNHCR kepada Reuters dalam komentar yang dikirimkan melalui surat elektronik.
"Kami sadar dan prihatin bahwa masih ada dalam penahanan sejumlah orang yang memprihatinkan, termasuk individu yang rentan, yang membutuhkan perhatian kami," tulis UNHCR.
UNHCR sebelumnya mengunjungi pusat-pusat itu untuk menentukan siapa yang harus diberi status pengungsi dan diizinkan pergi, tetapi pemerintah Malaysia telah memperkuat kebijakannya tentang imigrasi tahun ini.
Ribuan orang asing yang tidak berdokumen telah ditangkap dalam apa yang menurut pihak berwenang sebagai upaya untuk menghentikan penyebaran virus corona, dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Malaysia yang didanai negara mengatakan bahwa mereka prihatin dengan kepadatan yang berlebihan di penjara.
Malaysia adalah rumah bagi jutaan orang asing yang tidak berdokumen dan lebih dari 100.000 pengungsi Rohingya yang melarikan diri dari penganiayaan di Myanmar dan dari kamp-kamp di Bangladesh.
Baca juga: Amnesty International desak Malaysia bebaskan pengungsi Rohingya
Baca juga: Amnesty International minta Malaysia tidak cambuk pengungsi Rohingya
Meskipun Malaysia tidak mengakui pengungsi, namun memungkinkan pergerakan bebas bagi mereka yang diberi perlindungan oleh UNHCR.
Badan tersebut dapat mendaftarkan 6.039 orang sebagai pencari suaka pada Oktober tahun ini dibandingkan dengan 27.323 orang sepanjang 2019. Di antara mereka yang tidak terlihat adalah ratusan Rohingya yang ditangkap setelah berbulan-bulan di laut.
"Pengungsi dan pencari suaka seperti Rohingya tidak memiliki kesempatan untuk dibebaskan tanpa UNHCR," kata Jerald Joseph, seorang komisaris di Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
Joseph memperkirakan bahwa lebih dari 1.000 pencari suaka berada di kamp-kamp penahanan, yang dia yakini sekarang menjadi rumah bagi sepertiga lebih banyak orang daripada kapasitas seharusnya untuk 12.500 orang, sedangkan yang lainnya di penjara adalah orang asing tanpa dokumen yang menunggu deportasi.
Wabah COVID-19 telah dilaporkan dari setidaknya lima pusat penahanan dan lebih dari 1.000 orang telah terpengaruh di kelompok ini.
Kelompok hak asasi dan tahanan mengatakan kondisi di kamp penahanan sangat brutal.
Bulan lalu, Koalisi Buruh Migran Berdaulat Indonesia mengutip mantan tahanan yang mengatakan bahwa mereka telah diperlakukan seperti binatang dan disemprot dengan disinfektan setelah wabah COVID-19.
Seorang mantan tahanan, yaitu seorang perempuan Indonesia yang dibebaskan pada Januari, mengatakan kepada Reuters bahwa ratusan tahanan ditempatkan di sebuah ruangan yang rapat. Termasuk di dalamnya adalah perempuan tua, sakit, hamil, dan anak-anak. Makanan tidak mencukupi dan seorang petugas memukul para tahanan, tambahnya.
"Sepertinya semua tahanan di rumah tahanan imigrasi bukan manusia," ujar dia.
Sumber: Reuters
Baca juga: 26 pengungsi Rohingya yang hilang ditemukan di pulau kecil Malaysia
Baca juga: Malaysia bebaskan 27 pengungsi Rohingya dari hukuman cambuk
Penerjemah: Yashinta Difa Pramudyani
Editor: Yuni Arisandy Sinaga
Copyright © ANTARA 2020