Khartoum (ANTARA News/AFP) - Partai Kongres Nasional (NCP) Sudan yang berkuasa dan kelompok pemberontak selatan, Selasa, sepakat menerima hasil Pemilu pekan lalu.

Kesepakatan tersebut dicapai di tengah kerasnya tudingan Amerika Serikat (AS) bahwa proses pemilihan presiden dan Pemilu legislatif pekan lalu itu berlangsung secara "tidak bebas dan adil."

Wakil Ketua NCP, Ali Osman Taha, menyepakati keputusan mengikat Komisi Pemilihan Umum dalam pembicaraannya dengan Ketua Gerakan Pembebasan Rakyat Sudan (SPLM) Salva Kiir.

"Kami sepakat menerima hasil yang diumumkan Komisi Pemilu Nasional dan menghormati keputusan Komisi Pemilu Nasional," kata Taha dalam pernyataannya yang disiarkan stasiun TV nasional Sudan.

Surat-surat suara Pemilu yang diikuti sekitar 16 juta orang pemilih terdaftar itu masih dihitung. Pesta demokrasi multipartai pertama sejak 1986 itu dimaksudkan untuk memilih presiden serta anggota parlemen dan wakil daerah.

Para pemilih di selatan Sudan ikut menyalurkan suaranya untuk memilih kepala pemerintahan semi otonomi di wilayah mereka.

Omar al-Beshir yang didukung NCP diperkirakan berhasil mempertahankan kursi kepresidenannya setelah para pesaing utamanya mundur dari pemilihan presiden.

Sehari sebelum adanya kesepakatan kedua pihak, SPLM menuding NCP berniat mencurangi Pemilu di Negara Bagian "Blue Nile" yang terletak di daerah perbatasan antara Sudan Utara dan Sudan Selatan.

Namun Yasser Arman, calon presiden SPLM yang mundur dari arena pertarungan kursi kepresidenan dan orang yang menuding adanya niat curang partai berkuasa, turut hadir pada pertemuan Taha dan Kiir.

Kedua pihak juga sepakat mempercepat pelaksanaan Perjanjian Damai Menyeluruh tahun 2005 yang berhasil mengakhiri perang sipil utara-selatan yang berlangsung berpuluh tahun.

Taha mengatakan, kedua pihak khususnya menyepakati isu demarkasi daerah perbatasan. Masalah perbatasan ini penting menjelang pelaksanaan referendum tentang kemerdekaan wilayah selatan pada 2011.

Berkaitan dengan Pemilu Sudan, Pemerintah AS menyayangkan terjadinya pelanggaran serta pembatasan terhadap hak-hak politik dan kebebasan lewat proses Pemilu.

AS menilai konflik di Darfur pun tidak memberikan lingkungan yang kondusif bagi terlaksananya Pemilu yang dapat diterima.

Gedung Putih memuji rakyat Sudan yang berhasil membuat Pemilu mereka "damai dan berarti" namun mengingatkan soal penilaian para pemantau independen bahwa Pemilu Sudan gagal memenuhi "standar internasional."

"Tidak cukupnya persiapan teknis Pemilu menyebabkan terjadinya pelanggaran-pelanggaran serius," kata Juru Bicara Gedung Putih Robert Gibbs.

Akhir pekan lalu, sejumlah pemantau asing, termasuk mantan presiden Amerika Serikat (AS) Jimmy Carter dari "Carter Center" dan Ketua Pemantau Pemilu Uni Eropa Veronique de Keyser, menilai Pemilu Sudan gagal memenuhi standar internasional.

Namun terlepas dari kritik yang ada, Carter dan para pemantau Uni Eropa sepakat bahwa proses Pemilu yang diikuti sedikitnya 16 juta pemilih terdaftar untuk memilih presiden, anggota parlemen, dan anggota dewan setempat itu merupakan langkah tepat bagi Sudan.

De Keyser memandang Pemilu itu sebagai "langkah besar yang membuka keran demokrasi di Sudan".

Pandangan senada juga disampaikan Carter. Menurut mantan presiden AS itu, Pemilu tersebut memberi kesempatan kepada rakyat Sudan untuk ikut dan memberikan suara mereka.

Karena itu sudah selayaknya dunia mengakui hasilnya, katanya.

"Saya yakin, mayoritas masyarakat dunia yang diwakili pemerintah mereka akan menerima hasil Pemilu ini," kata Carter. (R013/K004)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010