Yogyakarta (ANTARA News) - Media massa dalam pemberitaannya masih mengeksploitasi kaum perempuan, bahkan cenderung melecehkannya, kata Koordinator Divisi Perempuan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Rach Alida Bahaweres.
"Dari hasil penelitian menunjukkan perempuan masih menjadi objek eksploitasi pemberitaan media massa. Beritanya bernuansa melecehkan, bahkan terkadang menyalahkan keberadaan kaum perempuan," katanya ketika menjadi pembicara pada sarasehan `Bahasa media massa dan kesetaraan gender` di Yogyakarta, Selasa.
Ia menyebutkan kalimat pasif dalam berita di surat kabar sering memposisikan perempuan sebagai korban yang memang seharusnya menimpa mereka.
Contohnya, kata dia, berita di salah satu surat kabar berjudul "Korban ke-6 digagahi di rumah".
Menurut Alida, kalimat itu merupakan kalimat pasif yang efeknya bisa menyembunyikan kehadiran pelaku. "Kalimat ini jelas mereduksi kasus perkosaan," katanya.
Selain itu, menurut dia ada kata `digarap`, yang terkesan seperti memposisikan perempuan sebagai `lahan garapan` yang memang harus dieksploitasi.
"Kalimat tersebut tentu saja memberi kesan perempuan ditampilkan secara tidak adil dan dieksploitasi," katanya.
Ia mengatakan perempuan yang menjadi korban terkadang menjadi `korban` kedua kali akibat pemberitaan. "Media massa sering mengabaikan Kode Etik Jurnalistik pasal 5 yang berbunyi `Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila, dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan`.
Namun, kata dia, kenyataannya masih banyak media massa yang menyebutkan nama lengkap, bahkan memasang foto perempuan yang menjadi korban pelecehan seksual.
Menurut dia, apabila pemberitaan yang muncul bernuansa cabul dan diskriminatif, ini berarti melanggar dua pasal pada Kode Etik Jurnalistik, yaitu pasal 4 dan pasal 8.
Pada pasal 4 disebutkan `Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul`.
Sedangkan pada pasal 8 disebutkan `Wartawam Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa.
"Untuk itu diperlukan jurnalisme perspektif gender, yakni praktik jurnalistik yang mempromosikan ide-ide tentang keadilan serta kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan," katanya.
Promosi tersebut, kata dia dilakukan dalam pemberitaan atau penyajian maupun penayangan, baik media cetak maupun media elektronik.
Sementara itu, Ketua Pimpinan Wilayah Muslimat Nahdlatul Ulama (NU) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Siti Maryam mengatakan organisasinya merasa berkewajiban dan berkepentingan untuk ikut melakukan pemberdayaan intelektual perempuan, karena kaum ini sering termarjinalkan dan dicitrakan sebagai makhluk yang lemah.
"Dengan pemberdayaan intelektual, diharapkan perempuan memiliki kesadaran diri mengenai pentingnya kesetaraan," katanya.
Ia mengatakan program pemberdayaan intelektual perempuan dilakukan pihaknya melalui pencerdasan dan pencerahan para kader Muslimat NU, penerangan dan dakwah secara internal mengenai nilai-nilai keagamaan, serta melalui organisasi dengan penguatan kapasitas dan kompetensi pengurus.
Sarasehan diselenggarakan oleh Forum Bahasa Media Massa (FBMM) DIY bersama penerbit Galangpress Yogyakarta dalam memperingati Hari Kartini.
(U.H008/M008/R009)
Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010