Jakarta (ANTARA News) - Siapa yang tak mengenal Raden Ajeng Kartini, ikon emansipasi wanita di Indonesia. Hari kelahirannya 21 April yang rutin diperingati sebagai Hari Kartini, berdampingan dengan peringatan Hari Bumi 22 April.

Dari sudut pandang sejarah, kedua hari itu memang tidak ada kaitannya, namun jika ditelisik lebih jauh keduanya berkaitan erat.

Perjuangan Kartini memang terpusat pada permasalahan perempuan akibat kungkungan budaya feodal yang begitu kuat, namun Kartini mempunyai perasaan peka terhadap keadaan lingkungannya dan mempunyai intelegensi tinggi dalam menelisik setiap masalah sehingga dia dapat menyerap saripatinya.

Kepekaan perasaan, pemahaman dan cara pandangnya terhadap permasalahan perempuan, lahir karena kecintaannya yang tulus nan agung kepada masyarakatnya.

Andaikan Kartini hidup di masa sekarang, di mana bumi semakin menderita, pasti dia tidak hanya akan menulis ketidaksetaraan gender yang dialami perempuan di masanya, tetapi juga memberikan perhatian kepada kondisi lingkungan yang ada.

Kepekaan sosial dan lingkungan dari Kartini seharusnya menjadi teladan perempuan.

Wujud semangat perjuangan Kartini oleh perempuan tak hanya berhenti pada tercapainya kesempatan mengenyam pendidikan tinggi, mendapatkan pekerjaan sesuai minatnya, mendapatkan kebebasan dalam menyuarakan pendapatnya, tetapi bertindak dengan mempedulikan orang lain dan lingkungan sekitar.

Maarif (2009) pernah menulis, "Gadis Modern harus punya kemandirian berfikir dan bertindak. Gadis Modern adalah perempuan muda yang secara mandiri dapat melangkah maju, bukan untuk kepentingan diri sendiri, tapi untuk kepentingan bersama, yang menunjukkan kehangatan (emosional) yang secara gembira dan optimis mau bekerja untuk kepentingan masyarakat pada umumnya."

Semangat kemandirian perempuan modern dalam bertindak untuk kepentingan bersama dapat diwujukdan dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang dampaknya semakin nyata dirasakan semua makhluk hidup di Bumi, khususnya perempuan.

Perubahan iklim sebenarnya adalah manifestasi dari pembangunan patriarki, sebagaimana dijelaskan Vandana Shiva (1988) dalam Valentina (2003) bahwa, "Pembangunan tidak lain dan tidak bukan adalah bentuk dari ideologi (negara-negara maju) patriarkis yang memenderitakan kaum perempuan dan merusak lingkungan negara-negara Dunia Ketiga."

Oleh karena itu, adalah penting melihat keterkaitan yang kuat antara perempuan dan lingkungan, serta membangun kehidupan dengan nilai-nilai ekologis, feminis, dan sosialis.

Paling rentan

Dampak perubahan iklim semakin terasa oleh semua orang, namun menurut PBB, perempuan adalah pihak paling rentan terkena dampak perubahan iklim, karena ada pengabaian pengalaman, pengetahuan, dan pandangan perempuan tentang lingkungannya, serta peran dan konstruksi sosial yang diembannya.

Masalah perubahan iklim bukan semata isu politik dan ekonomi, tetapi juga menyangkut isu kemanusiaan karena berkaitan dengan air, pangan, dan kesehatan.

Permasalahan yang timbul akibat perubahan iklim membuat beban perempuan menjadi semakin berat, karena perempuan berperan besar dalam pemenuhan air, pangan, perawatan keluarga, dan berkontribusinya dalam menanggung perekonomian keluarga.

Di banyak tempat, musim kering berkepanjangan menimbulkan kelangkaan air bersih dan gagal panen, sedangkan musim hujan dan lingkungan yang rusak telah menimbulkan banjir.

Selain itu, perubahan iklim yang ekstrem berpotensi menimbulkan juga bencana alam seperti angin topan dan tsunami.

Dalam perspektif ini, Women`s Environment and Development Organization (2008) menyatakan, perempuan paling rentan menjadi korban bencana karena memiliki keterbatasan bertahan hidup, seperti kemampuan berlari dan berenang.

Selain itu perempuan cenderung tidak mempunyai akses ke siaga bencana, mitigasi, dan rehabilitasi, akibat peran dan konstruksi sosial unik yang diembannya.

Sebagai pengatur rumahtangga, perempuan menjadi sering berinteraksi dengan alam, misalnya dalam kegiatan pemanfaatan air, pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam untuk kebutuhan pangan.

Itu membuat perempuan cenderung lebih peka terhadap lingkungannya, selain karena sebagian besar perempuan memiliki kearifan tradisional yang diturunkan turun temurun.

Upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim oleh perempuan dimulai dari lingkup rumah tangga, misalnya dengan mengelola dan memanfaatkan alam secara bijaksana, mengolah sampah menjadi efektif, menghemat energi dan air, serta manajemen pola konsumsi yang efisien.

Peran itu bisa meluas hingga lingkup internasional.

Saat ini banyak perempuan yang menginspirasi dan menggerakkan masyarakat untuk memperbaiki lingkungan rusak bahkan. Beberapa diantaranya mendapatkan penghargaan Kalpataru.

Perempuan juga aktif berkecimpung, dari organisasi-organisasi daerah sampai internasional, yang berjuang demi penyelamatan lingkungan.

Dalam kerangka "penyembuhan bumi" setiap perempuan seyogyanya memberikan sumbangsih nyata.

Oleh sebab itu dalam rangka Hari Kartini, sebagai perempuan yang mengaku modern, kita patut bertanya apakah tindakan kita selama ini sesuai dengan cita-cita Kartini, yaitu menjadi perempuan modern yang mandiri namun peka terhadap lingkungan dan sosialnya.

* Peneliti Independen Isu Kehutanan Masyarakat Rimbawan Muda Indonesia (RMI)- The Indonesia Institute for Forest and Environment.

A025/T010/AR09

Oleh Rini Apriani*
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010