"Sempena hari pahlawan ini, masyarakat terutama kaula muda harus bangga dan tahu bahwa Kepri memiliki tiga pahlawan nasional," kata Peneliti Sejarah BPNB Kepri Dedi Arman, Selasa.
Tiga pahlawan nasional Kepri dimaksud yakni Raja Haji Fisabilillah, Raja Ali Haji, dan Sultan Mahmud Riayat Syah.
Ketiganya memperoleh gelar pahlawan dari Pemerintah Republik Indonesia karena dianggap telah berjasa terhadap bangsa dan negara.
Baca juga: Pemkot Batam terus lengkapi Museum Raja Ali Haji
Baca juga: Mengungkap keistimewaan Bahasa Melayu
Adapun Raja Haji Fisabilillah menerima gelar pahlawan pada tahun 1997, disusul Raja Ali Haji tahun 2004, dan Sultan Mahmud Riayat Syah tahun 2018.
Sebagai bentuk penghargaan terhadap ketiganya, Pemerintah Pusat melalui Peraturan Presiden juga telah memberikan santunan sebesar Rp50 juta per tahun kepada zuriat masing-masing.
Selain itu, pemerintah pun berperan aktif menjaga dan merawat makam ketiga tokoh tersebut sehingga menjadi destinasi wisata bersejarah.
"Makam Raja Haji Fisabilillah dan Raja Ali Haji berada di Pulau Penyengat, Tanjungpinang. Sedangkan makam Sultan Mahmud Riayat Syah berada di Daik, Lingga," ujarnya.
Kalau hari-hari biasa, makam ketiganya pun kerap diziarahi wisatawan dalam dan luar negeri, termasuk pejabat daerah hingga pusat.
Berikut profil singkat tiga pahlawan nasional Kepri itu.
Raja Haji Fisabilillah
Raja Haji Fisabilillah, lahir di Kota Lama, Ulu Riau 1725 dan wafat di Teluk Ketapang, Melaka, Malaysia, 18 Juni 1784. Ia dimakamkan di Pulau Penyengat Inderasakti, Kota Tanjungpinang.
Namanya diabadikan dalam nama bandar udara di Tanjung Pinang, Bandar Udara Internasional Raja Haji Fisabilillah, dan salah satu masjid yang ada di Selangor, Malaysia.
Raja Haji dikenal juga sebagai Raja Haji marhum Teluk Ketapang adalah (Raja) Yang Dipertuan Muda Riau-Lingga-Johor-Pahang IV. Ia terkenal dalam melawan pemerintahan Belanda dan berhasil membangun pulau Biram Dewa di sungai Riau Lama.
Karena keberaniannya, Raja Haji Fisabililah juga dijuluki (dipanggil) sebagai Pangeran Sutawijaya (Panembahan Senopati) di Jambi.
Ia gugur pada saat melakukan penyerangan pangkalan maritim Belanda di Teluk Ketapang (Melaka) pada tahun 1784. Jenazahnya dipindahkan dari makam di Melaka (Malaysia) ke Pulau Penyengat oleh anaknya, Raja Ja’afar (YDM) Riau VI.
Raja Ali Haji
Raja Ali Haji lahir di Selangor tahun 1808, dan meninggal di Pulau Penyengat tahun 1873 (masih diperdebatkan) adalah ulama, sejarawan, dan pujangga abad 19, keturunan Bugis dan Melayu.
Dia terkenal sebagai pencatat pertama dasar-dasar tata bahasa Melayu lewat buku Pedoman Bahasa, buku yang menjadi standar bahasa Melayu. Bahasa Melayu standar itulah yang dalam Kongres Pemuda Indonesia 28 Oktober 1928 ditetapkan ditetapkan sebagai bahasa nasional, Bahasa Indonesia.
Raja Ali Haji merupakan keturunan kedua (cucu) dari Raja Haji Fisabilillah, Yang Dipertuan Muda IV dari Kesultanan Riau-Lingga dan juga merupakan bangsawan Bugis.
Sultan Mahmud Riaya Syah
Sultan Mahmud Riaya Syah (SMRS) lahir pada tanggal 24 Maret 1756. Mahmud Syah III adalah anak bungsu dari sultan Johor ke-13, Abdul Jalil Muazzam Syah dengan istri keduanya, Tengku Puteh.
SMRS jadi sultan saat masih belia. Sepanjang hidupnya, ia aktif dalam melawan Belanda. Strategi gerilya laut yang dikembangkannya melawan Belanda menjadikan sosok ini jadi lawan yang ulet bagi Belanda hingga ia wafat.
SMSR adalah Sultan Johor-Pahang-Riau-Lingga dengan wilayah takluknya kini menjadi tiga buah negara yakni Indonesia, Singapura dan Malaysia.
Nama SMRS diabadikan menjadi nama Lapangan Sepakbola di Daik Lingga dan dalam waktu dekat dipakai untuk nama masjid baru yang sangat besar di Sagulung, Kota Batam.*
Baca juga: Raja Ali Haji dijadikan nama museum Kota Batam
Baca juga: Mengunjungi makam Bapak Bahasa Raja Ali Haji
Pewarta: Ogen
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020