Jakarta (ANTARA News) - Dengan mengenakan seragam militer berwarna pucat dan senapan Kalashnikovnya tersandar ke tembok, Mahsun Alan menyeruput tehnya di pos penjagaan di satu lereng bukit, sementara matanya memperhatikan jalan yang berkelok di antara pegunungan terjal.
Pria berusia 44 tahun tersebut termasuk di antara ribuan warga desa miskin Kurdi yang telah menjadi tenaga secara sukarela --seringkali sambil menggerutu-- untuk membantu militer Turki memerangi orang lain dari suku Kurdi, anggota Partai Pekerja Kurdistan (PKK). Tetapi mereka malah terjebak di tengah konflik berdarah yang telah berlangsung lama.
"Keadaan tenang beberapa hari ini," kata Alan sebagaimana dilaporkan kantor berita Prancis, AFP.
Namun ia menyatakan datangnya musim semi, ketika salju mulai mencair, menandai awal musim pertempuran, dan pemberontak PKK bergerak masuk dari pangkalan mereka di Irak, sementara militer Turki mengerahkan balabantuan.
Bersama dua temannya, Alan bertanggung jawab mengawasi satu jalan di dekat Siirt, wilayah Turki tenggara yang kebanyakan dihuni oleh orang Kurdi, tempat pemberontak PKK telah menewaskan lebih dari 45.000 orang sejak 1984.
Tempat perlindungan mereka, yang kecil dan terbuat dari beton dan berada di atas sungai Carpiran, menjadi rumah kedua mereka yang jauh dari rumah asal mereka. Teh selalu berada di tangan dan kantung tidur menjadi alas duduknya pada siang hari.
Konflik tersebut telah memecah suku Kurdi di wilayah itu, tempat tradisi suku hidup terus dan seluruh masyarakat menghormati keputusan para tetua suku.
Beberapa dusun kecil telah mendaftarkan diri secara kolektif ke dalam apa yang disebut "penjaga desa" yang mendukung Angkatan Bersenjata Turki --sementara dusun lain telah menyaksikan anggota masyarakat mereka bergabung dengan PKK.
Sejak 1985, Ankara telah mempekerjakan sebanyak 60.000 orang Kurdi untuk mengamankan permukiman terpencil dan berfungsi sebagai pengintai dalam berbagai operasi anti-PKK.
"Kadangkala mereka mengirim tentara dari Izmir tanpa mengetahui wilayah ini," demikian komentar seorang rekan Alan. Ia merujuk kepada kota pelabuhan Turki di Laut Aegea yang terlihat jelas di bagian lain negeri tersebut.
Angkatan darat mungkin berterima kasih atas layanan mereka. Namun milisi itu telah menghadapi kecaman pedas karena bertindak di luar hukum, dan kelompok hak asasi manusia telah meningkatkan seruan mereka bagi pembubaran para "penjaga tersebut".
Banyak orang Kurdi, baik yang melarikan diri dari desa mereka maupun yang dipaksa pergi oleh militer pada puncak pemberontakan PKK pada 1990-an, mendapati rumah mereka diduduki oleh anggota milisi ketika mereka pulang.
Puluhan penjaga desa telah terlibat dalam kejahatan serius, dan mereka menyalah-gunakan hak mereka untuk membawa senjata dengan menggunakannya untuk menyelesaikan percekcokan berdarah atau terlibat dalam penculikan serta penyelundupan senjata.
Bagi Baki Aksoy, pemimpin Partai Pembangunan dan Keadilan, yang memerintah Turki, di Diyarbakir, sistem tersebut "tak dapat diterima baik".
"Negara mesti mempekerjakan mereka, sebagai penjaga hutan misalnya, tapi itu takkan mungkin selama PKK aktif," katanya.
Buat banyak orang Kurdi, bergabung dengan milisi tersebut bukan pilihan sukarela, tapi keputusan yang dipaksakan oleh kenyataan perang.
"Kami tak memiliki pilihan lain. Kami terjebak antara PKK dan Angkatan Darat. Satu malam, PKK lah yang mengganggu kami, lalu pada malam lain, Angkatan Darat lah yang melakukannya," kata Ishan Kuzu (40), sewaktu ia berdiri untuk mengawasi sembilan penjaga lain di satu jalan di dekat kota kecil Silvan.
"PKK, Angkatan Darat dan Hizbullah menghancurkan hidup saya," kata seorang penjaga lain, yang juga menyalahkan satu kelompok setempat yang mengincar PKK pada 1990-an dan diduga telah diterima oleh negara.
Kuzu memohon bagi perdamaian dengan kenangan emosional bahwa orang Turki dan Kurdi bertempur bersama-sama dalam mempertahankan tanah air selama Perang Dunia I.
"Rakyat sudah jemu dengan perang. Apa yang kami inginkan ialah negara persatuan... Kami berperang bersama di Gallipoli. Satu-satunya perbedaan ialah kami adalah orang Kurdi," katanya.
Namun yang lain tidak terlalu siap bagi perujukan. "PKK membakar ribuan desa. PKK selalu mengatakan, `anda bersama kami atau pergi`," kata Saban Kahraman (48), mantan komandan satuan penjaga desa dan sekarang menjadi manager perusahaan keamanannya sendiri, sambil menggerutu.
Kahraman, sambil duduk di bahwa gambar pendiri republik Turki Kemal Ataturk di kantornya di Van, mengakui bahwa ia hidup di bawah perlindungan pengawal swasta --tebusan nyata karena dulu ia mengabdi buat Angkatan Darat Turki.(C003/T010)
Oleh
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010