Padang (ANTARA) - Akibat keranjingan menikmati minuman berenergi setiap hari, membuat Handikha Pratama yang baru berusia 19 tahun, didiagnosis dokter gagal ginjal dan terpaksa harus menjalani cuci darah dua kali sepekan selama lima jam per sesi.
Awal mula kisah Handikha didiagnosis gagal ginjal terjadi ketika selepas menyelesaikan sekolah di salah satu SMK yang ada di Kota Padang, kemudian memutuskan merantau dan bekerja di salah satu perusahaan swasta di Duri, Provinsi Riau, pada 2017.
Bekerja sebagai pembersih sumur minyak membuat ia merasa butuh energi untuk bekerja. Dalam seminggu ia hanya bekerja empat hari dan saat tengah hari istirahat siang, satu cerek minuman energi menjadi teman. Usai bekerja di sore hari untuk memulihkan tenaga ia kembali meneguk minuman berenergi.
Ia bersama teman teman kerja biasa membuat minuman energi satu termos dengan komposisi lima sachet minuman berenergi untuk dinikmati bersama.
Satu tahun bekerja dan larut dalam aktivitas, akhirnya Handikha mengalami demam tinggi yang membuat ia harus dilarikan ke rumah sakit.
Tak hanya panas, badannya pun bengkak dari kaki hingga ke muka sehingga harus dirawat hingga tiga minggu lamanya.
Hasil pemeriksaan dokter ditemukan ada batu ginjal dan kadar urin kratin sudah teramat tinggi sehingga tak ada jalan lain, kecuali harus cuci darah rutin.
Akhirnya karena tidak ada keluarga di Riau, Handikha memutuskan untuk kembali ke Padang dan dirujuk ke Rumah Sakit Umum Pusat M Djamil.
Karena kurang yakin, ia pun berupaya mencari dokter pembanding dan akhirnya memutuskan ke RS BMC Padang.
"Di RS BMC saya tetap diputuskan harus cuci darah, tidak ada jalan lain," katanya.
Sementara ibunda Handikha, Natalis, saat mendapat kabar putranya dinyatakan gagal ginjal berharap anaknya bisa sembuh.
Perempuan yang sehari-hari beraktivitas sebagai buruh harian rumah tangga berjuang untuk kesembuhan Handikha dan rela bekerja apa saja.
Ia menceritakan Handikha merupakan tulang punggung keluarga karena sejak kecil sudah ditinggal bapaknya sehingga rela bekerja untuk dia dan adiknya yang masih sekolah.
Handikha termasuk beruntung sejak awal sakit, dirawat hingga tiga minggu di RS di Pekanbaru dan saat ini masih menjalani cuci darah rutin dua kali seminggu tidak mengeluarkan biaya karena ditanggung oleh BPJS Kesehatan.
"Kalau harus bayar kerja apa ya bisa mengumpulkan uang sebanyak itu, sekali cuci darah saja Rp1 juta, dua kali seminggu, delapan kali sebulan jadi Rp8 juta, itu baru cuci darah saja," ujarnya.
Selama menjalani cuci darah pun ia tidak mengalami kendala dan menerima pelayanan yang baik dari tenaga medis di RS BMC Padang.
Ia bersyukur dengan adanya BPJS Kesehatan bisa terbantu dan semua itu berkat gotong royong dari iuran semua peserta.
Kini yang bisa ia lakukan adalah berupaya menjaga pola hidup sehat dan jangan sampai terlambat melaksanakan cuci darah setiap Rabu dan Sabtu.
Berbeda dengan Handikha, warga Padang lainnya, Jum Julietri (37), sejak 3,5 tahun terakhir rutin menjalani cuci darah di Rumah Sakit Umum Pusat M. Djamil setelah dokter mendiagnosis mengalami gagal ginjal.
Berkat program JKN-KIS, Jum yang status kepesertaannya merupakan penerima bantuan iuran dari Pemerintah Kota Padang merasa terbantu dengan adanya peran negara dalam melindungi hak dasarnya sebagai warga negara. Tak terbayangkan berapa biaya yang harus dibayar untuknya cuci darah.
“Kami mana ada uang, sekali cuci darah saja kabarnya sampai Rp1,5juta, dua kali pula seminggu dan sudah berjalan 3,5 tahun. Karena itu saya merasakan betul manfaat dari BPJS Kesehatan dan selama ini dalam proses pengobatan selalu mendapatkan pelayanan yang baik, tidak ada perlakukan yang dibeda-bedakan,” kata dia.
Kisah Handikha dan Jum merupakan potret warga yang terbantu dengan keberadaan program JKN-KIS sehingga hak kesehatannya sebagai warga negara tetap dapat terpenuhi kendati memiliki keterbatasan dari sisi ekonomi.
Berdasarkan data yang dihimpun dari BPJS Kesehatan Cabang Padang, tak kurang dari Rp8,9 triliun biaya telah digelontorkan untuk membayar pengobatan warga di Sumatera Barat sejak 2014.
Sementara untuk iuran yang diterima hanya Rp3,5 triliun atau 253 persen lebih besar klaim yang dibayarkan ketimbang iuran yang dihimpun.
Untuk biaya pengobatan sakit jantung warga Sumatera Barat saja mencapai Rp230 miliar per tahun.
Berdasarkan catatan BPJS Kesehatan pada 2017 di Sumbar terdapat 330.492 kasus jantung dengan klaim sebesar Rp230,7 miliar dan pada 2018 hingga pertengahan tahun mencapai 210.604 kasus.
Selain sakit jantung, biaya terbesar kedua yang dikeluarkan adalah untuk pengobatan kanker sebesar Rp65,1 miliar dan stroke Rp54,6 miliar.
Kendati mengalami defisit hal itu tidak perlu terlalu dikhawatirkan karena wujud hadirnya negara salah satunya adalah lewat program ini.
Di tengah semua hantaman persoalan yang menerpa, mulai dari defisit, regulasi yang masih belum tuntas, BPJS Kesehatan tetap dipertahankan karena ada banyak masyarakat yang terbantu dengan program ini.
Tingkatkan Belanja Kesehatan
Sementara itu, pakar kesehatan dari Universitas Indonesia Prof Hasbullah Thabrany menyampaikan tidak ada negara yang bangkrut karena menjamin layanan kesehatan yang komprehensif bagi warganya.
"Oleh sebab itu Indonesia tidak perlu khawatir jika harus menanggung pelayanan kesehatan warga karena berdasarkan data yang ada belanja kesehatan publik di Tanah Air pada 2017 hanya 1,4 persen dari total produk domestik bruto," kata dia pada Media Workshop yang digelar BPJS Kesehatan dengan tema Menjaga Keberlangsungan Program JKN-KIS.
Menurutnya, semakin suatu negara maju, maka biaya belanja kesehatan akan kian besar dan di negara yang sudah maju lebih dari separuh belanja kesehatan publik berasal dari pajak penghasilan dan sisanya dari asuransi sosial.
"Kalau negara maju, seperti Amerika Serikat belanja kesehatannya mencapai 8,6 persen PDB, Jerman 8,7 persen PDB dan Inggris 7,6 persen," ujarnya.
Ia menilai karena Indonesia sudah masuk kategori negara dengan pendapatan per kapita menengah seharusnya biaya belanja kesehatan sudah harus lebih besar dan ditingkatkan sebagai ukuran komitmen politik pemerintah kepada masyarakat.
"Semua penduduk harus mampu memenuhi kebutuhan dasar hidup layak, salah satunya jika sakit harus diobati," katanya
Ia mengatakan kalau ada yang bertanya apakah Indonesia mampu menjamin biaya pelayanan kesehatan seluruh rakyat lewat program Jaminan Kesehatan Nasional Kartu Indonesia Sehat, jawabannya Tuhan selalu menciptakan risiko yang dapat kita tangani.
"Tentu saja iuran peserta JKN-KIS harus dikelola dengan efisien dengan penerapan kendali mutu dan biaya yang tepat," kata dia.
Terkait dengan adanya pertanyaan kenapa warga yang tidak membayar iuran tak berhak mendapatkan pelayanan kesehatan, ia menyampaikan ini merupakan upaya mendidik masyarakat bahwa tiada hak tanpa kewajiban.
"Ini prinsip dasar yang berlaku di seluruh dunia, bayar iuran bisa dapat hak, tapi kalau tidak mampu bisa dibantu," ujarnya.
Ia melihat selama ini yang tidak patuh membayar iuran hanya sedikit dan ke depan dapat dibantu dengan skema peserta penerima bantuan iuran.
Terbesar di dunia
Pemerintah menyebut Jaminan Kesehatan Nasional Kartu Indonesia Sehat telah menjadi program asuransi sosial terbesar di dunia saat ini.
"Terlepas dari kekurangan yang ada, program JKN-KIS telah menjadi program asuransi sosial terbesar di dunia dengan tingkat cakupan kepersertaan sudah mencapai 90 persen dari jumlah penduduk," kata Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo.
Ia memaparkan di Amerika Serikat dulu ada namanya program Obamacare, namun sampai sekarang masih dalam pembahasan.
"Sementara di Indonesia kendati baru digagas sudah diterapkan, terlepas dari kekurangan yang masih ada," ujarnya.
Menurutnya prinsip dari JKN-KIS adalah yang mampu menolong yang lain dan yang tidak mampu dibayarkan oleh negara.
"Jadi setiap orang itu berhak jika suatu hari sakit biayanya akan dibantu negara, itu prinsip gotong royongnya," katanya.
Oleh sebab itu demi keberlangsungan ekosistem program dilakukan penaikan tarif bagi kelompok yang mampu dan yang tidak mampu disubsidi negara sebagai penerima bantuan iuran.
Baca juga: Ancaman gagal ginjal dibalik minuman berenergi
Pada sisi lain ia memaparkan belanja kesehatan pemerintah di masa pandemi naik signifikan menjadi hampir dua kali lipat dibandingkan sebelumnya.
Pada 2019 hanya Rp113,6 triliun, saat ini berdasarkan Perpres 72 /2020 menjadi Rp212,5 triliun.
Baca juga: Rehabilitasi medik dijamin JKN sesuai indikasi
Ia menilai angka tersebut merupakan yang terbesar dalam sejarah belanja kesehatan pemerintah.
"Dan anggaran untuk JKN dalam penanganan COVID mencapai Rp87,55 triliun dan ada alokasi tambahan untuk bantuan iuran JKN Rp3 triliun mengantisipasi peserta yang tidak mampu," kata dia.
Baca juga: Layanan JKN yang tak terhenti di kala pandemi
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2020