Banjarmasin (ANTARA News) - Banyak perusahaan di Kalimantan Selatan (Kalsel) yang menyalahi analisa dampak lingkungan (Amdal) dengan melakukan ekploitasi di luar ketentuan perizinan.

Hal itu disampaikan Kabid Analisisa Pencegahan Dampak Lingkungan Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Kalsel Ir Asbiani di Banjarmasin, Jumat, pada sosialisasi undang-undang lingkungan yang diikuti karyawan perusahaan perkebunan, pertambangan, karet, dan lainnya.

Menurut dia, banyak perusahaan sawit yang tidak sesuai dengan Amdal dan perizinan lainnya. Dalam perizinan produksinya hanya 30 TBS ton/per jam, namun faktanya kini mencapai 60 TBS ton/jam.

Artinya, kata dia, telah terjadi peningkatan dua kali lipat produksi kelapa sawit. Begitu juga dengan perusahaan pertambangan batu bara dan lainnya.

Ia memberi contoh di perusahaan pertambangan bahwa sesuai izin eksploitasi batu bara hanya sampai 5 ton per hari ternyata di lapangan mencapai 15 ton per hari.

Peningkatan produksi tersebut, kata Asbia, telah mengubah desain lingkungan dan seharusnya dilakukan peninjauan ulang terhadap Amdal-nya.

Ternyata, kata dia, hal itu tidak dilakukan oleh beberapa perusahaan perkebunan sawit maupun tambang batu bara dan tambang lainnya.

Dikhawatirkan, bila hal tersebut terus dibiarkan, maka akan membuat kondisi lingkungan di Kalsel semakin rusak dan tidak terkendali.

Terhadap perusahaan tersebut di atas, pihaknya akan melakukan audit lingkungan dengan ancaman hukuman yang cukup berat.

Sayangnya, pihak BLHD belum bersedia menyebutkan nama-nama perusahaan yang melakukan pelanggaran tersebut di atas, dengan alasan sedang dalam proses pembinaan.

Ancaman hukuman, kata dia, tidak hanya dikenakan pada perusahaan, tetapi juga pada instansi yang mengeluarkan izin.

Menurut dia, pejabat yang memberikan izin terhadap perusahaan yang belum memiliki Amdal juga dikenakan ancaman hukuman selama tiga tahun dan denda hingga Rp3 miliar.

"Saat ini ada beberapa perusahaan yang operasionalnya di Kalsel, namun saat ditanya tentang Amdal katanya berada di Jakarta, sehingga sangat menyulitkan," katanya.

Pada sosialisasi yang dipimpin Kepala BLHD Kalsel Rakhmadi Kurdi tersebut, Asbiani juga menjelaskan, sampai saat ini baru 60 perusahaan yang melaporkan upaya Pengelolaan lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL).

"Padahal perusahaan di Kalsel jumlahnya ratusan," katanya.

Dari 60 perusahaan tersebut, kata dia, sistem pelaporannya juga tidak terus menerus atau kadang dilaporkan kadang tidak.

Hal tersebut, kata dia, membuat pemantauan persoalan lingkungan pada perusahaan tidak bisa maksimal.

UKL/UPL adalah salah satu instrumen pengelolaan lingkungan yang menjadi persyaratan perizinan bagi pemrakarsa yang akan melaksanakan suatu usaha/kegiatan di berbagai sektor.

Dokumen UKL-UPL dibuat pada fase perencanaan proyek sebagai kelengkapan dalam memperoleh perizinan untuk proyek-proyek yang dampak lingkungannya dapat diatasi dengan skala pengendaliannya kecil dan tidak kompleks.
(T.U004/Z002/P003)

Pewarta:
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010