Jakarta (ANTARA) - Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memantau adanya anomali iklim global di Samudera Pasifik Ekuator yang menunjukkan bahwa anomali iklim La Nina sedang berkembang.
Kehadiran La Nina tidak hanya terpantau oleh BMKG, tapi juga berbagai Pusat Layanan Iklim Dunia lainnya seperti NOAA (Amerika Serikat), BoM (Australia) dan JMA (Jepang).
Berbagai pusat layanan iklim tersebut memperkirakan La Nina dapat berkembang terus hingga mencapai intensitas La Nina Moderate pada akhir 2020, dan akan mulai meluruh pada Januari-Februari kemudian akan berakhir Maret-April 2021.
La Nina ditandai dengan suhu lebih dingin di kawasan Samudra Pasifik bagian tengah dan timur, sementara di bagian barat lebih panas, yang memicu peningkatkan curah hujan di wilayah Indonesia.
Baca juga: Ancaman bencana hidrometeorologi di tengah pilkada serentak Jambi
Akibat pengaruh La Nina, kenaikan akumulasi curah hujan bulanan atau musiman di wilayah Indonesia yang diprediksi hingga mencapai 20-40 persen lebih tinggi dari normalnya, tergantung pada variasi wilayah dan waktunya.
Dampaknya akan semakin terasa terutama ketika wilayah Indonesia memasuki musim hujan, sehingga curah hujan akan bertambah dan dapat menimbulkan berbagai bencana hidrometeorologi seperti hujan ekstrem, banjir bandang, tanah longsor, angin kencang hingga gelombang tinggi.
Berbagai dampaknya saat ini mulai dirasakan masyarakat seiring dengan dimulainya musim hujan. Mulai dari banjir yang terjadi di sejumlah wilayah seperti Garut, Cilacap dan lainnya.
Namun masih banyak masyarakat yang belum begitu memahami La Nina sehingga berkembang informasi keliru yang beredar terutama di dunia maya termasuk pemahaman masyarakat tentang fenomena La Nina yang masih belum seragam dan memadai. La Nina bahkan sering disebut sebagai suatu badai yang mengerikan.
Baca juga: Sosialisasi ancaman bencana hidrometeorologi perlu digencarkan
Berbeda dengan La Nina, badai atau siklon tropis berupa pusat tekanan rendah dan pusaran angin yang menyebabkan curah hujan dan kecepatan angin ekstrem sehingga memicu banjir dan longsor di wilayah tersebut.
Siklon tropis umumnya hanya bisa berkembang dan menguat di wilayah tropis diluar 10 derajat Lintang Utara atau Selatan serta pergerakannya menjauhi wilayah Indonesia.
La Nina terjadi pada skala waktu beberapa bulan hingga tahun dan mempengaruhi pola cuaca atau iklim global, sedangkan siklon tropis adalah fenomena ekstrem gangguan cuaca dalam skala ratusan kilometer yang memiliki dampak bersifat regional baik langsung maupun tidak langsung dan berlangsung beberapa hari.
Masih adanya pemahaman yang keliru justru akan berdampak negatif terhadap sendi-sendi kehidupan terutama dalam sektor-sektor tertentu seperti pertanian, perikanan, kelautan dan perhubungan.
Baca juga: Membangun ketangguhan kebencanaan di tengah ancaman pandemi
La Nina Membawa Berkah
Sebenarnya tak hanya dampak negatif yang dirasakan dengan kehadiran La Nina, namun ada pula dampak positifnya.
Tentunya dengan meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai bagaimana cara mengantisipasinya, strategi apa yang harus diambil dan menentukan langkah-langkah apa agar masyarakat dapat memanfaatkan sisi positifnya.
Curah hujan yang melimpah akibat dampak La Nina tidak selamanya berdampak negatif, namun jika mengenalinya dan mengantisipasinya dengan baik, maka La Nina dapat pula menjadi berkah dan menguntungkan pada beberapa sektor tertentu.
Agar masyarakat dapat mengambil manfaat dari fenomena La Nina yang menyebabkan meningkatnya curah hujan, maka masyarakat perlu memahami prakiraan curah hujan dan prakiraan musim yang telah diinformasikan oleh BMKG di berbagai media.
Dengan mengetahui kapan akan hujan dan seberapa besar curah hujannya, masyarakat dapat merencanakan dan menentukan kegiatannya, sehingga memperoleh keuntungan dari curah hujan yang melimpah.
"Dengan demikian La Nina telah menjadi berkah, bukan sebagai musibah," kata Kepala BMKG Dwikorita Karnawati.
Seperti di wilayah-wilayah yang cenderung kering misalnya Kabupaten Gunungkidul DI Yogyakarta, La Nina yang berkembang bersamaan dengan musim hujan diprediksikan akan meningkatkan curah hujan 10 hingga 30 persen dalam satu bulan untuk wilayah tersebut.
Kondisi tersebut berdampak positif terutama bagi wilayah-wilayah yang biasanya kering, akan mendapatkan pasokan air yang cukup bahkan lebih.
Untuk memanfaatkan pasokan air tersebut, petani-petani Gunungkidul sudah menyiapkan tampungan air berupa dam air di Kali Ngalang untuk mengairi lahan pertanian dan mengendalikan air agar tidak banjir.
Baca juga: BMKG: Masyarakat perlu dididik hadapi ancaman bencana hidrometeorologi
Peningkatan Pemahaman
Upaya meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya memahami prakiraan curah hujan terus dilakukan BMKG salah satunya lewat Sekolah Lapang Iklim (SLI).
Gubernur DI Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono mengatakan, dulu petani tradisional dalam menentukan masa tanam selalu mengandalkan pranata-mangsa, perhitungan iklim berdasarkan ilmu titen yang turun-temurun.
"Tapi saat ini, setelah terjadinya anomali iklim yang sulit diprediksi, cara-cara lama itu sulit digunakan lagi," ujar Sultan.
Maka salah satu upaya yang dilakukan dengan menginisiasi SLI untuk membantu menghindari dampak salah mangsa. Teknologi yang dimiliki BMKG, misalnya terkait informasi cuaca, prediksi dan lainnya jika dipadukan dengan ilmu titen (ilmu tradisional Jawa untuk mengenali tanda-tanda alam) akan membantu petani mengantisipasi dampaknya.
"SLI ini untuk antisipasi terhadap dampak fenomena iklim ekstrem serta menjadi langkah adaptasi terhadap usaha pertanian apabila terjadi iklim ekstrem seperti banjir atau kekeringan," kata Kepala BMKG Dwikorita Karnawati.
SLI merupakan salah satu kegiatan rutin BMKG sebagai bentuk pelayanan untuk masyarakat dengan memberi literasi mengenai banyak hal terkait meteorologi, klimatologi, dan geofisika.
Melalui SLI, mampu meningkatkan pemahaman cuaca dan iklim sehingga petani menjadi mandiri dalam menyusun strategi dan rencana tanam untuk menghasilkan keuntungan yang optimal.
Baca juga: Wabup Sleman harapkan warga mampu tanggulangi ancaman Merapi
Keuntungan yang diperoleh petani yang telah mengikuti SLI mulai dirasakan dengan meningkatnya produktivitas pertanian, seperti di Kapanewon Rongkop Kabupaten Gunungkidul DI Yogyakarta, hasil panen ubi kayu milik petani setempat meningkat 30 persen pada 2020 yaitu mencapai 31,7 ton per hektare dibandingkan 2019 yang hanya 22,4 ton per hektare.
Meski harga jual turun, namun petani masih mendapatkan keuntungan sebesar Rp2.208.000/ha dari peningkatan produktivitas tersebut.
Hasil produktivitas ubi kayu 2020 meningkat disebabkan adanya iklim yang mendukung yaitu berupa kemarau yang relatif lebih basah dibanding 2019, sehingga menyebabkan pertumbuhan dan pembentukan ubi kayu dapat optimal.
Begitu pula dengan hasil kegiatan SLI Operasional di Kapanewon Ponjong Gunungkidul terjadi peningkatan produktivitas gabah kering sebesar 6,6 persen atau mencapai 7,6 ton per hektare pada 2020 dibandingkan 2019 sebesar 7,1 ton per hektare.
Dengan harga jual yang mengalami peningkatan sebesar Rp4.500/kg dibandingkan 2019 dan hasil produktivitas meningkat, maka petani masih mendapatkan keuntungan sebesar Rp4.380.000/ha.
Selain peningkatan pemahaman tentang cuaca, upaya mitigasi juga perlu dilakukan khususnya mitigasi nonstruktural yaitu masalah perilaku.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo mengatakan mengantisipasi bencana dengan perilaku yang menjaga lingkungan.
Menurut Doni bila perilaku masyarakat sudah menjaga lingkungan, ditambah dengan kesiapsigaan terhadap kemungkinan bencana, maka akan mengurangi kemungkinan risiko korban jiwa ketika terjadi bencana.
Literasi, pemahaman dan mitigasi penting untuk terus ditingkatkan agar bencana yang terjadi tidak lagi memakan korban jiwa.
Berbekal informasi, pengetahuan dan mengenal tanda-tanda alam diharapkan bisa membawa dampak positif bagi kehidupan masyarakat.
Editor: Tunggul Susilo
Copyright © ANTARA 2020