Jakarta (ANTARA) - Kecemasan sosial atau dikenal dengan istilah "demam panggung" terjadi ketika seseorang merasa cemas dan takut ketika harus bersosialisasi dan berinteraksi dengan orang lain.
Menurut psikiater & ahli psikosomatis RS OMNI Hospital Alam Sutera dr. Andri, gejala kecemasan sosial ditandai dengan timbulnya benjolan di tenggorokan, berkeringat, gemetar, jantung kerap berdebar kencang, ketegangan otot, nyeri, mual, atau pusing.
Selain itu, ada juga perasaan ingin melarikan diri, dirundung perasaan bersalah, dan selalu ingin menghindar ketika harus tampil di depan umum atau ketika harus menjadi pusat perhatian.
Pengidap kecemasan sosial juga kerap menghindari orang-orang yang mereka anggap punya kedudukan lebih tinggi dari dirinya meskipun orang tersebut masih keluarga, seperti paman atau bibinya.
"Kecemasan yang intens secara terus menerus dari penderita kecemasan sosial dapat memengaruhi kesehatan fisik atau dikenal dengan istilah psikosomatik, yaitu keluhan fisik yang timbul atau dipengaruhi oleh pikiran atau emosi, bukan oleh alasan fisik, seperti luka atau infeksi," kata dia dalam siaran persnya, ditulis, Minggu.
Andri menyarankan beberapa tips untuk mengatur rasa cemas, seperti mencoba membiasakan diri untuk menghadiri rapat tepat waktu sehingga dapat melihat satu per satu peserta rapat yang datang, membekal diri dengan informasi terkini mengenai situasi atau pemberitaan terkini sehingga memiliki topik untuk menjadi bahan diskusi dengan orang lain, menghindari minuman beralkohol, mengonsumsi makanan sehat, dan rajin berolahraga.
Baca juga: Hipnoterapis: nonton berita kericuhan bikin cemas dan panik
Baca juga: Melawan kecemasan sosial
Baca juga: Apa itu kecemasan sosial?
Di masa pandemi COVID-19, gangguan kecemasan juga bisa disebabkan media sosial. Menurut salah satu kreator konten kesehatan mental, Dimas Alwin, perubahan sosial secara mendadak, cepat, dan terus menerus selama masa pandemi COVID-19 bisa menimbulkan rasa cemas dan panik. Media sosial, kata dia, bisa menjadi pemicu kecemasan karena bisa jadi informasi yang dibaca seseorang ternyata hoaks atau tidak benar.
Dimas mengatakan, awalnya ingin menghibur diri saat banyak waktu harus dihabiskan di rumah. Tetapi, alih-alih terhibur, mereka yang tadinya sudah cemas jadi semakin takut beraktivitas dan mengambil keputusan karena terpengaruh informasi dari media sosial.
"Informasi soal COVID-19 sering disajikan dengan cara kurang tepat atau bertujuan menakut-nakuti dan content-nya tidak diverifikasi terlebih dahulu sehingga membingungkan pembaca. Kita tahu virus ini bisa menyebabkan terganggunya kesehatan, menurunnya kualitas hidup, dan menyebabkan kematian sehingga informasi yang disajikan haruslah bersifat edukatif agar pembaca memiliki pemahaman yang benar dan mematuhi protokol kesehatan bukan sebaliknya menjadi khawatir," ujar Dimas.
Dia menyarankan pengguna media sosial dapat lebih bijak berselancar di internet.
Hal senada juga pernah diungkapkan, dokter spesialis paru di RSUP Persahabatan Erlina Burhan. Dia menuturkan, separuh informasi di media sosial mengenai COVID-19 tak benar.
"Hoaks ini tidak ada habisnya, di media sosial 50 persen isinya hoaks, tidak usah dipercaya. Hanya modal jempol, orang bisa membuat
rusuh," tutur dia.
Erlina mencontohkan, dampak hoaks ini antara lain membuat pasien-pasien COVID-19 tidak mau datang ke rumah sakit dan ini berdampak buruk pada mereka yang sudah mempunyai penyakit penyerta seperti diabetes, hipertensi, penyakit jantung dan lainnya.
Akhirnya banyak dari mereka yang meninggal di rumah karena tidak mendapatkan pengobatan. Menurut dia, masyarakat takut datang ke rumah sakit karena takut tertular COVID-19. Padahal sebenarnya rumah sakit bisa mengendalikan penularan infeksi jauh lebih baik daripada masyarakat.
Dia mengakui informasi COVID-19 sangat dinamis karena tergolong penyakit baru dan para pakar kesehatan termasuk di Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) masih mempelajarinya. Masyarakat diimbau untuk mencari informasi yang benar melalui sumber-sumber resmi mengenai COVID-19.
Baca juga: Ingin atasi rasa cemas? Coba konsumsi makanan berfermentasi
Baca juga: Terapi bicara bantu atasi gangguan kecemasan sosial
Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2020