Bekasi (ANTARA News) - Keluarga mengaku menyesalkan kematian Israel Jaya Mangunsang (26), aparat Satpol PP Jakarta Utara yang mengorbankan jiwanya ketika bertugas dalam penggusuran di Tanjung Priok, Jakarta Utara, yang berakhir dengan kerusuhan.
"Meski dia (Israel) meninggal saat bertugas, namun saya tetap menyesali kejadian itu. Sebab Pemerintah Jakarta Utara tidak membekali keterampilan anggota Satpol PP untuk menghadapi massa," ujar adik kandung korban, Kartika (22), kepada ANTARA di Bekasi, Kamis.
Almarhum Israel yang tinggal bersama orang tuanya di Jalan Swadaya RT02 RW14 nomor 97, Kelurahan Jati Bening, Kecamatan Pondok Gede, Kota Bekasi, Jawa Barat, telah bergabung dalam Satpol PP Pemerintah Jakarta Utara sejak tahun 2005 dengan status sebagai Pegawai Tidak Tetap (PTT).
"Berdasarkan pengakuan kakak saya, dia hanya dibekali pengetahuan seputar pelanggaran Peraturan Daerah (Perda) dan jarang dibekali ilmu bela diri mau pun persenjataan yang lengkap untuk mengatasi kericuhan massa," katanya.
Saat peristiwa kericuhan Tanjung Priok, kata dia, Israel anak ke dua dari empat bersaudara pasangan Zainal Abidin Mangunsong dan Ny. Tintauli Pangaribuan itu tergabung dalam tim lapis pertama pengamanan di Jalan Koja dekat Terminal Peti Kemas Tanjung Priok.
"Saat terjadi bentrokan, Israel bersama dengan rekan satu timnya tidak mampu mengimbangi jumlah massa yang saat itu mulai beringas. Saat terjadi kejar-kejaran, kakak saya terjatuh, sementara tameng dan pentungannya terpental," katanya.
Melihat situasi itu, kata dia, sekumpulan massa yang mengamuk langsung melempari batu ke tubuh korban serta memberi pukulan menggunakan benda tumpul hingga mengeluarkan darah di bagian kepala belakang.
"Informasi yang saya terima dari temannya, Israel sama sekali tidak memberikan perlawanan, dan temannya lari menyelamatkan diri," katanya.
Korban langsung dilarikan ke Rumah Sakit (RS) Koja Jakarta Utara dalam keadaan koma untuk mendapat perawatan darurat. Namun, fasilitas kedokteran di RS tersebut tidak maksimal, sehingga kembali dirujuk ke RS Tarakan Jakarta Pusat, hingga akhirnya meninggal dunia sekitar pukul 04:00 WIB akibat luka dalam di bagian kepala.
Sementara itu, Mikron Abadi (35), rekan korban yang juga bertugas sebagai anggota Satpol PP Jakarta Utara, turut membenarkan pernyataan Kartika terkait minimnya pembekalan anggota oleh Pemerintah Jakarta Utara dalam mengahadapi kerusuhan.
"Dalam sebulan, kami hanya sekali diberi pelatihan ilmu bela diri dasar setiap hari Jumat. Itu pun hanya sekitar 20 persen saja, selebihnya senam kesehatan jasmani di sekitar pelataran parkir gedung pemerintahan," ujarnya.
Kendati anggota Satpol PP telah diberi Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) dari pemerintah setempat, kata dia, namun tidak seluruh anggota mendapat fasilitas secara penuh.
"Untuk kategori PTT, hanya menerima biaya pengobatan di RS saja. Namun, bagi yang telah PNS sudah menerima tunjangan secara penuh termasuk asuransi kematian," ujarnya.
Menurut Mikron yang saat kericuhan bertugas sebagai supir truk pengangkut anggota, upah yang diterima anggota Satpol PP dengan status PTT setiap bulannya sekitar Rp1.650.000. Dengan perincian gaji pokok sebesar Rp900 ribu ditambah tunjangan kinerja Rp750 ribu.
(ANT/S026)
Pewarta:
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2010