"Memori Tsunami 26 Desember 2004 menyadarkan bahwa kita hidup dalam kawasan rawan bencana alam," katanya di Banda Aceh, Rabu.
Hal itu disampaikan gubernur saat membuka "7th Intergovernmental Coordination Group for the Indian Ocean Tsunami Warning and mitigation System/Kelompok Koordinasi Antarpemerintah/Sistem Peringatan Tsunami Samudera Hindia (ICG/IOTWS), yang dihadiri perwakilan sejumlah negara.
Perwakilan sejumlah negara asing yang menghadiri ICG/IOTWS itu yakni Jerman, India, Cina, Australia, Amerika Serikat, Oman, Maldives, Thailand, Malaysia, Perancis, Tanzania, Pakistan, Singapura, Sri Lanka, Kenya, Qatar dan Jepang.
"Visi Aceh Green yang saya gagas adalah salah satu upaya dalam mengurangi risiko bencana akibat ulah manusia. Mengurangi risiko bencana alam dengan konsep pembangunan ekonomi berkelanjutan melalui strategi investasi hijau untuk Aceh," tambahnya.
Selain itu, Irwandi menyatakan upaya adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim menjadi penting dalam proses pembangunan kedepan, termasuk bagaimana tata kelola pemerintahan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan mitigasi bencana secara keseluruhan.
"Hingga saat ini, Pemerintah Aceh dan mitra baik lokal maupun internasional, telah melakukan beberapa upaya terkait dengan mitigasi bencana," tambahnya.
Saat ini sedang disusun struktur kelembagaan penanggulangan bencana Aceh, dan dalam proses baik ditingkat provinsi maupun kabupaten kota serta penyusunan prosedur standar operasi (SOP) kebencanaan.
"Kami juga sedang mengintegrasikan konsep mitigasi bencana dalam Rencana Tata Ruang Aceh (RTRWA), Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RTJP) dan dokumen kebijakan turunannya," kata Irwandi Yusuf.(A042/A024)
Pewarta:
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2010