Jakarta (ANTARA News) - Baru-baru ini Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tengah merancang strategi modernisasi nelayan. Strategi itu berupa transformasi nelayan dari status nelayan "artisanal" yang beroperasi di wilayah pesisir menjadi nelayan laut lepas.
Tak tanggung-tanggung kebijakan ini akan menelan biaya sekitar Rp1,5 triliun yang akan diberikan kepada para nelayan.
Hal ini didasari kenyataan bahwa struktur armada perikanan masih didominasi perahu tradisional kurang dari 5 GT (gross ton) yakni 92 persen dari jumlah armada sebanyak 596 ribu. Pertanyaan yang harus diajukan adalah tepatkah strategi itu.
Kebijakan ini mesti dipandang sebagai kemauan baik pemerintah untuk mensejahterakan nelayan. Bagaimana pun juga nelayan artisanal kini tengah dihadapkan sejumlah persoalan, khususnya kondisi sumberdaya ikan di pesisir yang makin lama-makin menipis.
Krisis sumberdaya perikanan pesisir di satu sisi, dan meningkatnya jumlah nelayan artisanal di sisi lain terus membuat pendapatan nelayan makin menipis.
Dengan demikian strategi untuk membuat nelayan artisanal menjadi nelayan laut lepas dapat menjadi langkah penting untuk mengatasi krisis ekonomi rumah tangga nelayan. Apakah ada bukti-bukti empiris, upaya transformasi ini realistis ? Memang banyak pengalaman membuktikan bahwa upaya transformasi ini menemui kegagalan.
Di Jawa Timur, program pemerintah peningkatan kapasitas armada nelayan agar bisa beroperasi di laut lepas ternyata hanya berlangsung sebentar saja. Begitu pula program serupa yang diinisiasi LSM di Nusa Tenggara Barat (NTB) juga gagal. Ada beberapa faktor yang membuat program itu gagal.
Pertama, keterbatasan modal kerja mengingat beroperasi dengan kapal besar membutuhkan biaya perbekalan dan bahan bakar yang tidak kecil. Tidak adanya modal kerja membuat nelayan tidak siap dengan perbekalan dan pada akhirnya tak siap melaut. Umumnya pemerintah hanya fokus pada pengadaan armada tanpa diiringi dengan bantuan modal kerja.
Kedua, keterbatasan keterampilan, mengingat beroperasi dengan armada besar membutuhkan ketrampilan khusus dalam permesinan. Hal ini pun sering diabaikan oleh program pemerintah.
Ketiga, keterbatasan mental berusaha. Dengan menangkap ikan di laut lepas diperlukan keberanian dan daya juang lebih dibandingkan dengan usaha di wilayah pesisir. Kebiasaan beroperasi secara harian ternyata berpengaruh saat mereka hendak menjadi nelayan laut lepas.
Keempat, keterbatasan pengetahuan tentang sumberdaya ikan. Nelayan artisanal sudah terbiasa menangkap ikan di wilayah pesisir, dan mereka paham betul karakteristik ekosistem, sehingga dengan mudah mereka menentukan daerah penangkapan ikan, jenis ikan yang ditangkap, waktu penangkapan, serta alat tangkap yang sesuai.
Dengan beroperasi di laut lepas, nelayan menghadapi kondisi sumberdaya yang karakteristiknya berbeda. Tidak mudah bagi nelayan untuk menyesuaikan diri dengan kondisi yang berbeda tersebut.
Pada kasus di NTB, misalnya, sebenarnya nelayan telah dilatih untuk beroperasi di wilayah laut lepas. Namun ternyata persoalannya pada keterbatasan pemahaman terhadap siklus musim ikan.
Alat tangkap yang diintroduksi hanya cocok untuk periode tertentu saja. Akibatnya, nelayan hanya beroperasi pada periode yang sangat terbatas dan mereka kesulitan menjalankan aktivitas ekonomi pada periode setelah itu. Pada akhirnya program yang diinisiasi oleh LSM ini pun tak bisa berlangsung lama.
Apakah program ini selalu gagal? Tidak juga. Ada contoh keberhasilan yang dapat dilihat pada kasus modernisasi perikanan di Pekalongan. Secara sederhana kita bisa bertanya siapa saja yang punya kapal-kapal pursein di atas 100 gros ton yang saat ini dapat dilihat di pelabuhan Pekalongan.
Bila ditelusuri jejak mereka, ternyata mereka adalah mantan anak buah kapal (ABK) pada kapal milik para nelayan Bagan Siapi-api yang beroperasi dengan pukat harimau di wilayah pesisir.
Mereka terikat hubungan patron-klien. Sang patron yang pemilik kapal memiliki kewajiban moral untuk membesarkan kliennya. Para pemilik kapal yang berasal dari Bagan Siapi-api tersebut memiliki kemauan baik untuk mengkader anak buahnya agar kelak dapat menjadi pemilik.
Para juragan tersebut memberikan modal kepada anak buahnya dan lalu memberikan bimbingan usaha dan ketrampilan. Hasilnya nyata, bahwa sejumlah anak buah tersebut lalu menjadi juragan besar hingga sekarang. Wilayah operasinya tidak lagi di wilayah pesisir tetapi sudah di laut internasional.
Dari tiga kasus di atas menarik dicermati, ternyata yang justru berhasil adalah transformasi oleh masyarakat itu sendiri melalui sistem patron-klien. Sementara di sisi lain program pemerintah dan LSM malah tak berhasil.
Oleh karena itu, pemerintah yang saat ini hendak mendorong proses transformasi itu mestinya bisa berkaca dari sejumlah kegagalan masa lalu serta belajar dari kisah sukses di Pekalongan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut:
Pertama, perlu pemagangan nelayan artisanal pada kapal-kapal besar agar mereka paham terhadap manajemen usaha, ketrampilan pengoperasian kapal, teknik permesinan, serta pengetahuan tentang karakteristik sumberdaya.
Begitu pula ini penting untuk menempa mental mereka. Pola pemagangan ini sebaiknya melibatkan pihak swasta sebagai tempat magang. Jadi mestinya jauh-jauh hari para calon penerima sudah dimagangkan dulu. Untuk itulah pemerintah perlu duduk bersama swasta mendesain program ini. Ini didasarkan pada kisah sukses di Pekalongan.
Kedua, pola transformasi antara nelayan Jawa, luar Jawa, pulau besar dan pulau kecil perlu dibedakan. Pembedaan bisa didasarkan pada jenis kapal dan alat tangkap. Hal ini juga karena karakteristik nelayan maupun karakteristik sumberdaya masing-masing pulau juga berbeda.
Yang perlu didorong adalah teknologi yang adaptif yang mampu menjamin para nelayan bisa beroperasi sepanjang tahun, serta informasi kondisi stok sumberdaya. Jangan sampai program ini dijalankan sementara kondisi stok ikan sudah menipis.
Ketiga, institusi perguliran dana perlu dikembangkan dengan desain yang baik. Mestinya kapal yang akan diberikan pada nelayan bukanlah hibah untuk individu tetapi hibah untuk masyarakat atau koperasi, yang kemudian penerima kapal harus membayar cicilan untuk digulirkan kepada kelompok lainnya.
Keempat, suplai bahan bakar minyak (BBM) untuk nelayan mesti terjamin. Saat ini masalah suplai BBM untuk nelayan sering bermasalah. Apa artinya program pengembangan armada nelayan untuk melaut di laut lepas bila tidak disertai jaminan suplai BBM.
Kelima, modal kerja juga mesti disediakan. Beroperasi di laut lepas memerlukan modal kerja yang lebih besar baik untuk perbekalan, BBM, serta perawatan. Seringkali program pemerintah dalam modernisasi nelayan tidak diikuti dengan penyediaan modal kerja, sehingga sudah dapat diduga bahwa program ini tidak bisa berumur panjang.
Jadi, kelima hal itu di atas perlu menjadi perhatian pemerintah, dan bisa dikatakan sebagai syarat penting (necessary condition) suksesnya program transformasi nelayan dari artisanal menjadi nelayan laut lepas.
Jika sukses, ini dapat menjadi awal yang baik bagi kita untuk bisa menjadi tuan rumah di laut kita sendiri. Bila tidak, maka bisa jadi kembali menjadi tamu di laut kita sendiri karena kapal-kapal asing akan kembali berdatangan.(***)
Penulis, Dekan Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) IPB.
Oleh Oleh Dr. Arif Satria
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2010