Bisa saja masih muda dan tanpa gejala, kemudian terjadi perburukan dan menjadi fatal

Jakarta (ANTARA) - Wakil Direktur Pendidikan dan Penelitian Rumah Sakit Universitas Negeri Surakarta Sebelas Maret (UNS) Tonang Dwi Ardyanto mengatakan belum ada patokan bagaimana seseorang yang sebelumnya tanpa gejala bisa menjadi gejala berat bahkan kritis akibat COVID-19.

"Bisa saja masih muda dan tanpa gejala, kemudian terjadi perburukan dan menjadi fatal," kata Tonang dalam bincang media yang diadakan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak secara virtual yang diikuti dari Jakarta, Jumat.

Tonang mengatakan sebagian besar kasus COVID-19 di Indonesia adalah tanpa gejala. Hanya 10 persen yang menjadi bergejala berat dan hanya lima persen yang menjadi kritis. Meskipun secara persentase kecil, tetapi secara absolut jumlahnya tetap banyak.

Baca juga: Mata merah, cegukan hingga gangguan otak bisa jadi gejala COVID-19

Begitu pula dengan angka kematian. Meskipun persentase kematian akibat COVID-19 relatif rendah, tetapi karena terjadi penambahan kasus maka jumlahnya masih tetap tinggi.

Meskipun belum ada patokan bagaimana gejala COVID-19 bisa menjadi berat, Tonang mengatakan kasus konfirmasi positif dan kematian pada anak relatif rendah. Sebaliknya, kasus konfirmasi positif dan kematian pada lanjut usia relatif lebih tinggi.

"Faktor imunologi pada anak mengurangi risiko respons imun yang berat. Imunologi pada anak juga sudah terlatih dari vaksinasi yang diberikan, meskipun belum ada vaksin COVID-19," tuturnya.

Baca juga: Dokter paru: Pasien COVID-19 rentan terkena happy hypoxia

Baca juga: "Malaise" salah satu gejala COVID-19, sebut dosen RSA UGM

Sedangkan pada lanjut usia, faktor imunologinya sudah melemah, ditambah dengan komorbid, menyebabkan respons yang berat dan berisiko tinggi mengalami kegagalan fungsi organ. Selain itu, lanjut usia biasanya kurang bergerak dan kurang mendapatkan paparan sinar matahari.

Terkait dengan pembuatan vaksin COVID-19, Tonang mengatakan dalam kondisi wajar memang memerlukan waktu lima tahun hingga tujuh tahun untuk mengembangkan vaksin. Namun, pengembangan vaksin COVID-19 bisa dipercepat menjadi hitungan bulan.

"Saat ini belum ada satu pun vaksin COVID-19 yang sudah lulus uji klinis fase III. Setelah vaksin ada, tidak otomatis pandemi COVID-19 akan berhenti karena harus ada banyak orang yang divaksin," jelasnya.

Baca juga: UNS kembali tutup kampus menyusul kasus COVID-19

Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2020