Jakarta, 14/4 (ANTARA) - "Indonesia harus memperhatikan hak wilayah Australia, dan Australia harus menghormati pula hak menangkap ikan bagi nelayan tradisional kita", demikian disampaikan oleh Prof Hasyim Djalal, pakar hukum laut internasional, dalam workshop yang diselenggarakan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan, bekerjasama dengan Kedutaan Besar Australia di Bali beberapa hari yang lalu. Workshop dihadiri oleh para pakar dari Indonesia dan Australia, serta beberapa staf Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi maupun Kabupaten terkait dari NTT, Jawa Timur, Sulawesi, Maluku dan NTB. Topik yang dibahas meliputi rencana penelitian dan pengelolaan sumberdaya perairan yang ada di wilayah khusus gugusan Pulau Pasir atau Ashmore Reef dan sekitarnya.

Untuk memecahkan masalah di wilayah Australia yang berbatasan dengan Indonesia tersebut pada tahun 1974 telah dibuat nota kesepahaman antara dua negara yang disebut Memorandum of Understanding (MoU) Box. Dinamai "MoU Box" karena menyangkut wilayah, yang bila di digambar di peta, berbentuk kotak seperti peti (box). Workshop dipandu berdua oleh Dr. Suseno, selaku Ketua Working Group Indonesia-Australia, dan Prof Martin Tsamenyi, dari Australian National Centre for Ocean Resources and Security (ANCORS), University of Wollongong.

Setelah mendapat masukan dari Rote, Madura, Buton, dan daerah lainnya, serta pemaparan dari Dr Tony Ruchimat, Direktur Pulau-pulau Kecil, Jim Prescott, MoU Box Manager, Australian Fisheries Management Authority (AFMA), dan Simon Veitch, Manager of Northern International Fisheries, maka workshop memberikan rekomendasi agar dilakukan penelitian bersama oleh dua negara, untuk mengkaji status sumberdaya perairan yang ada di wilayah MoU Box, sehingga jelas biota apa saja yang sudah perlu diatur lebih ketat, untuk dipertahankan kelestariannya.

Workshop juga merekomendasikan agar dibuat buku pedoman yang menjelaskan tentang kesepakatan dua negara dalam MoU Box. Buku tersebut akan didistribusikan untuk para pejabat, baik pusat maupun daerah yang terkait, para penyuluh, aparat, serta masyarakat di kedua negara. Hal ini perlu dilakukan, karena kesepakatan yang ada memiliki keunikan yang perlu difahami oleh segenap pihak, untuk menghindari permasalahan.

Misalnya tentang status wilayah, karena pada masa lalu tidak pernah masuk sebagai bagian dari Hindia Belanda, maka walaupun jaraknya lebih dekat ke pulau Rote daripada ke daratan Australia yang terdekat, Pulau Pasir dan gugusannya merupakan yurisdiksi wilayah Australia. Sebagaimana diketahui, yang ditetapkan sebagai yurisdiksi wilayah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah yang dahulu menjadi bagian dari wilayah Hindia Belanda, dari Sabang sampai Merauke.

Namun demikian, terbukti bahwa beberapa kelompok nelayan Rote, Madura dan Sulawesi ada yang secara turun temurun, telah menangkap ikan atau mencari tripang dan lola di P.Pasir. Bahkan makam nenek moyangnya juga ada di sana. Sesuai dengan ketentuan internasional, maka termasuk yang memiliki hak penangkapan ikan tradisional. Oleh karenanya, kesepakatan dibuat bahwa wilayah tersebut adalah yurisdiksi kedaulatan Australia, namum nelayan tradisional dari Indonesia tersebut memiliki hak menangkap ikan di sana, asalkan masih sesuai dengan upaya pelestarian sumberdaya yang ada.

Masalah yang kemudian harus dipecahkan adalah menetapkan siapakah "nelayan tradisional". Dalam MoU Box hanya dilihat dari tingkat teknologi yang digunakan, yakni nelayan dengan perahu kecil, tanpa motor dengan peralatan yang sederhana. Kini muncul wacana, bagaimana dengan nelayan Rote, Madura atau Buton yang telah turun temurun menangkap ikan di wilayah tradisionalnya tersebut, namun ingin menerapkan peralatan yang agak maju. Akan tetapi harus dicegah pula nelayan Indonesia kawasan lain, yang secara komersial berupaya cari kesempatan mengambil sumberdaya perikanan yang tersedia di gugusan P.Pasir.

Oleh karenanya, hasil workshop memandang perlu dicari solusi yang tepat, sehingga perubahan MoU Box nantinya bisa menghargai kedaulatan Australia, memberikan akses yang semestinya kepada nelayan tradisional, yang memang betul-betul berhak, dengan bersama-sama melestarikan sumberdaya perairan yang ada.

Untuk keterangan lebih lanjut, silakan menghubungi DR. Soen'an H. Poernomo, M.Ed., Kepala Pusat Data, Statistik dan Informasi, Kementerian Kelautan dan Perikanan, HP: 08161933911

Pewarta: PR Wire
Editor: PR Wire
Copyright © ANTARA 2010