bertumbuhnya toko-toko seni di Sanur dan Denpasar sekitarnya mungkin bisa dilacak dari rintisan-rintisan awal Le Mayeur-Ni Pollok, yang selanjutnya memberi andil bagi maraknya perkembangan Sanur sebagai salah satu destinasi wisata
Denpasar (ANTARA) - Akademisi Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar I Wayan Gulendra berpandangan tentang pentingnya mengoptimalkan pemanfaatan Museum Le Mayeur di kawasan Sanur, Kota Denpasar sebagai tempat wisata edukasi pelajar dan generasi muda untuk pengembangan bakat seni budaya.
"Banyak karya luar biasa yang tersimpan di sini. Kalau museum ini bisa dibuka untuk pusat pembelajaran dan juga arena unjuk seni bagi seniman, saya yakin keberadaan museum ini akan kembali cemerlang," katanya saat menjadi pemateri dalam seminar bertajuk "Semara Turida, Kisah Cinta Ni Pollok Le Mayeur di Bali," di Museum Le Mayeur, Denpasar, Jumat.
Adrien Jean Le Mayeur de Merpres atau biasa disebut Le Mayeur seorang pelukis asal Brussels, Belgia, yang sekitar 1932 menginjakkan kaki di Bali, kemudian akhirnya memilih kawasan Pantau Sanur (tempat Museum Le Mayeur-red) untuk membangun tempat tinggal dan studio lukisnya.
Di rumah yang berada di Pantai Sanur itu, Le Mayeur melakukan proses kreatif menghasilkan berbagai karya lukisan yang dapat disaksikan sampai saat ini. Rumah itu pun menjadi tempat menyatukan cintanya bersama Ni Pollok, gadis asal Kelandis, Denpasar yang dipersuntingnya pada 1935 dan sekaligus menjadi model lukisannya.
Menurut Gulendra, Le Mayeur suka mengunjungi daerah-daerah eksotis, terutama beriklim tropis. Ia juga menyukai cahaya dan kehangatan sinar Matahari yang tidak didapatkan di negerinya. Ke mana pun dia berpetualang selalu alam pantai dan laut yang memikat perhatiannya.
"Ketika di Bali menggunakan Ni Pollok sebagai model tetap, menjadikan lukisan-lukisan Le Mayeur cenderung post-impresionisme. Artinya dia tetap menekankan pada cahaya, bayangan, warna-warna cerah, namun menggabungkan impresionisme dengan aliran lain, terutamanya realisme untuk mencapai detail-detail lukisan dan juga romantisme," ucap dosen Seni Rupa Murni ISI Denpasar itu.
Keberadaan Museum Le Mayeur secara keseluruhan, katanya, memiliki makna yang mendalam, khususnya untuk generasi muda mendatang yang mendalami seni lukis, baik sebagai sumber kajian maupun inspirasi dalam penciptaan seni. Selain itu, memberikan edukasi tentang berbagai karya seni dari teknik, material, dan gaya.
"Namun sayangnya Museum Le Mayeur selama ini terkesan kurang terekspose. Padahal untuk mengetahui masa lalu dari sisi budaya, kita harus masuk ke museum, khususnya lagi dapat menginspirasi generasi muda," ucapnya.
Baca juga: ISI Denpasar diskusikan pengembangan kriya di era pandemi COVID-19
Dia berharap, Museum Le Mayeur yang berstatus museum khusus dengan pengelolaan ditangani UPTD Museum Bali itu, ketika musim liburan dapat menjadi tempat wisata para pelajar maupun mahasiswa, sehingga kegiatan wisata sekaligus bernilai edukasi.
Dalam kesempatan itu, Gulendra juga mengusulkan nama museum diubah dengan menambahkan nama "Ni Pollok", menjadi Museum Ni Pollok-Le Mayeur karena sejatinya Ni Pollok juga memiliki banyak andil.
Arti
I Wayan Westa, pembicara lainnya, mengupas mengenai arti Le Mayeur bagi Bali.
Menurut dia, apa yang diwariskan Le Mayeur dan Ni Pollok di Sanur tak cuma harus diartikan sebagai museum mati.
"Museum ini, dengan segenap warisan kreatifnya, lukisan, arsitektur menjadi satu penanda bahwa diaspora kultural yang kita warisi kini. Selain itu menjadi aspek penting bagaimana melihat kebudayaan dalam segala gerak dan dinamikanya," ucap pria yang juga penulis sastra itu.
Apa yang ditinggalkan Le Mayeur di Museum Le Mayeur pun, tak cuma menjadi kerja Le Mayeur seorang diri, namun menjadi kerja dan warisan dari seorang penari legong asal Kelandis bernama Ni Pollok.
"Dalam perkembangan selanjutnya, bertumbuhnya toko-toko seni di Sanur dan Denpasar sekitarnya mungkin bisa dilacak dari rintisan-rintisan awal Le Mayeur-Ni Pollok, yang selanjutnya memberi andil bagi maraknya perkembangan Sanur sebagai salah satu destinasi wisata. Kehadiran pelukis atau seniman dalam perkembangan suatu wilayah sungguh memiliki makna tak kecil," katanya.
Pembincara lainnya, I Gusti Seramasara dari ISI Denpasar banyak mengupas sejarah perjalanan Le Mayeur ke Bali.
Kepala UPTD Museum Bali I Wayan Andra Septawan mengatakan seminar tersebut, di antaranya sebagai media menyebarluaskan informasi keberadaan lukisan Le Mayeur, mengidentifikasi dan mengklasifikasikan lukisan Le Mayeur, memberikan gambaran secara umum terhadap perjalanan Ni Pollok dan Le Mayeur, serta mencari makna yang tersirat dan tersurat dalam karya lukisan.
Kepala Seksi Koleksi dan Konservasi UPTD Museum Bali I Putu Sedana mengatakan koleksi lukisan Le Mayeur sampai saat ini berjumlah 88 karya.
Lukisan asli yang di dipajang di gedung pameran 54 karya, lukisan repro yang dipajang 29 karya, sedangkan lukisan asli yang tersimpan di "storage" 34 karya, lukisan repro yang tersimpan 59 karya, ditambah pula dengan peralatan rumah tangga, antara lain meja, kursi, almari, tempat tidur.
Seminar dirangkai dengan lokakarya lukisan selama 7-10 November 2020 dengan para peserta dari sanggar maupun komunitas melukis di sembilan kabupaten/kota se-Bali untuk mengenalkan karya-karya Le Mayeur kepada generasi muda.
Baca juga: Pelukis asal Bali pameran tunggal cinta lingkungan di Kota Magelang
Baca juga: 13 lukisan Nyoman Gunarsa jadi cagar budaya
Baca juga: Dasawindu Antara; lukisan dari seniman Bali
Pewarta: Ni Luh Rhismawati
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2020