Pemberi dan penerima uang untuk "membeli" suara dapat dikenai sanksi pidana.

Anambas (ANTARA) - Kepulauan Anambas, kabupaten termuda di Provinsi Kepulauan Riau, sering menjadi pembicaraan para politikus. Isu yang diperbincangkan antara lain terkait biaya politik yang tinggi di kabupaten yang dimekarkan dari Natuna sejak 2008.

ANTARA menelusuri budaya politik masyarakat yang mayoritas bekerja sebagai nelayan dan buruh di Anambas, yang berbatasan dengan Malaysia, Thailand dan Vietnam.

Warga yang bekerja di Tarempa, Ibu Kota Anambas bukan hanya berasal dari daerah tersebut, melainkan dari berbagai pulau. Pernyataan mereka kontradiktif dengan isu politik uang.

Warga yang bekerja sebagai buruh angkut dan nelayan, misalnya, tidak terpengaruh terhadap uang yang diberikan politikus. Mereka justru memiliki harapan besar terhadap satu dari tiga peserta Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Anambas yang berhasil memperoleh suara terbanyak.

Antusiasme masyarakat terhadap Pilkada Anambas jauh lebih tinggi daripada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Kepri di Anambas. Alat peraga kampanye pun terpasang di berbagai kawasan menghiasi setiap pusat keramaian dan tepi jalan.

Pasangan Abdul Haris-Wan Zulhendra, Yusrizal-Fatahurrahman, dan pasangan Fachrizal-Johari kerap melakukan kampanye.

Sementara itu, alat peraga kampanye peserta Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Kepri: Soerya Respationo-Iman Sutiawan, Isdianto-Suryani, dan Ansar Ahmad-Marlin Agustina jarang ditemukan di Tarempa.

"Antusiasme warga terhadap Pilkada Anambas sangat tinggi, berbeda dibanding Kepri," kata Ketua KPU Kabupaten Anambas Jufri Budi.

KPU setempat menargetkan jumlah partisipasi pemilih pada Pilkada 2020 mencapai 80 persen atau di atas target nasional.

Partisipasi pemilih dalam setiap pesta demokrasi di daerah tersebut melebihi 70 persen. Bahkan, pada Pemilu 2019, partisipasi pemilih di Anambas mencapai 87 persen.

"Gaung Pilkada Anambas 2020 sepertinya jauh lebih menarik perhatian masyarakat dibanding Pilkada Kepri 2020 di Anambas. Ini menjadi perhatian kami untuk mendorong masyarakat menggunakan hak suara untuk memilih pasangan calon gubernur dan wakil gubernur," katanya.

Anggota KPU Kabupaten Anambas Fadillah mengemukakan bahwa penduduk setempat yang masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT) sebanyak 31.707 orang, terdiri atas 16.292 laki-laki dan 15.415 perempuan. Mereka tersebar di 119 tempat pemungutan suara (TPS).

"Mesin politik masing-masing pasangan calon bergerak. Kami pun mendorong terus masyarakat agar menggunakan hak pilih," ujarnya.

Baca juga: Dinamika politik pilkada di negeri berjuluk Bunda Tanah Melayu


Budaya Melayu

Anggota Badan Pengawas Pemilu Kabupaten Kepulauan Anambas Anambas Liber Simaremare berpendapat bahwa budaya melayu mampu melahirkan pilkada damai.

Menurut dia, budaya melayu masih melekat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat yang tinggal di daerah yang berbatasan dengan Vietnam, Thailand, dan Malaysia tersebut.

Budaya melayu itu santun, ramah, dan terbuka. Oleh karena itu, masyarakat Anambas terdiri atas berbagai suku yang hidup berdampingan.

Potensi konflik horizontal dalam pilkada tidak ada. Anambas merupakan wilayah yang aman.

Hal senada dikatakan Ketua KPU Anambas Jufri Budi. Ia menambahkan bahwa politik orang melayu sangat mendukung penyelenggaraan pilkada berjalan lancar. Politik melayu yang santun melahirkan pilkada yang baik.

"Kami sangat terbantu. Karena masyarakat mengutamakan kepentingan publik," ucapnya.

Budi menjelaskan bahwa politik kekerabatan juga kental dalam setiap pesta demokrasi. Dalam positifnya seluruh persoalan dapat di selesaikan ketikan sudah duduk bersama.

Dalam satu kedai kopi dapat ditemukan tim sukses dari tiga pasangan calon bupati dan wakil bupati duduk bersama. Hal ini jarang ditemukan di daerah lain.

Bahkan, tim sukses dari pasangan Abdul Haris-Wan Zulhendra, Yusrizal-Fatahurrahman, dan Fachrizal-Johari saling menghargai meski beda pilihan.

"Beda pilihan tetapi tetap menyatu," katanya.

Baca juga: Debat paslon Pilkada Kepri ditunda karena anggota KPU positif COVID-19


Suara Nelayan

Nelayan di Kabupaten Anambas mengharapkan Pilkada 2020 melahirkan bupati dan wakil bupati yang jujur dan adil.

"Jangan korupsi. Pemimpin harus jujur," kata Abdul Razak (49), nelayan tradisional Pulau Candi di Pelabuhan Tarempa, Anambas.

Razak sehari-hari tidak hanya bekerja sebagai nelayan. Terkadang dia bekerja sebagai pengantar barang milik pedagang dengan menggunakan perahu.

"Saya tidak tamat sekolah dasar, tetapi saya punya harapan agar pemimpin nanti orang baik," ucapnya.

Sunadi (29), nelayan asal Pulau Nyamuk, Anambas sehari-hari bekerja membawa perahu milik bosnya. Sehari-hari dia mengantarkan orang dan barang-barang dari Pulau Nyamuk ke pulau-pulau lainnya di sekitar Tarempa, Ibu Kota Anambas.

Ia berharap tokoh yang memimpin Anambas ke depan merupakan pemimpin yang amanah.

"Perhatikan kesejahteraan masyarakat, pembangunan yang merata," kata Sunadi yang tidak melanjutkan pendidikan setelah lulus SMP.

Mochtar (56), yang sehari-hari bekerja sebagai nelayan di Pulau Ladan, berharap kepala daerah yang memenangi pilkada dapat meningkatkan fasilitas pendidikan dan kesehatan.

"Kalau bisa bangun sekolah yang berkualitas, yang fasilitas kesehatan yang baik. Jadi, anak-anak kami tidak susah ke sekolah. Kalau ada yang sakit, tidak perlu dirawat sampai ke Batam dan Tanjungpinang," ucapnya.

Ia juga berharap politikus yang lahir dari pilkada merupakan pemimpin yang prorakyat dan tidak koruptif.

"Peduli dengan kami, dekat dengan kami. Jangan korupsi kalau mau hidup berkah," katanya.

Baca juga: Anggota KPU Anambas Terancam Dipecat

Politik Uang

Bawaslu setempat menduga Pilkada 2020 rawan politik uang. Namun, hal ini sulit dibuktikan.

Anggota Bawaslu Kabupaten Anambas Liber Simaremare mengatakan bahwa pihaknya cukup banyak menerima laporan terkait dengan dugaan politik uang. Namun, orang yang memberi informasi tersebut tidak mau membuat laporan resmi.

"Kami didesak untuk mengambil tindakan tegas oleh tim salah satu pasangan calon. Namun, informasi awal itu tidak dilengkapi data. Padahal, penerima uang itu dapat melaporkan kepada kami untuk segera ditindaklanjuti sesuai dengan peraturan yang berlaku," ujarnya.

Sampai sekarang, kata dia, pihaknya belum menemukan maupun menerima laporan resmi terkait dengan politik uang.

Liber mengingatkan pemberi dan penerima uang untuk "membeli" suara dapat dikenai sanksi pidana. Oleh karena itu, dia mengajak seluruh masyarakat untuk menolak politik uang.

Politik uang tidak mendidik masyarakat, bahkan meruntuhkan nilai-nilai demokrasi dalam pilkada. Politik uang melahirkan pemimpin yang cenderung koruptif sehingga praktik yang mengancam nilai-nilai demokrasi harus ditolak bersama.

Bawaslu setempat mengingatkan kepada peserta pemilu untuk tidak melakukan politik uang. Peserta pemilu memiliki tanggung jawab dalam memberi pendidikan politik kepada masyarakat.

Pada Pemilu 2014, Bawaslu Kabupaten Anambas mengungkap kasus politik uang yang dilakukan oleh caleg, kemudian didiskualifikasi sehingga tidak dapat dilantik sebagai anggota DPRD Lingga meski memperoleh suara cukup signifikan.

Pada tahun 2014, kata dia, satu suara "dijual" Rp1,5 juta sampai Rp2 juta. Pemilu 2019, nilai satu suara berkurang menjadi Rp1 juta. Namun, tidak semua warga mau menerima uang tersebut.

"Pemilih menolak politik uang dengan berbagai alasan, salah satunya takut," katanya.

Ketua KPU Kabupaten Anambas Jufri Budi mengatakan bahwa politik uang rawan terjadi pada pilkada.

Jajaran KPU setempat gencar melakukan sosialisasi tolak politik uang dan mendorong pemilih gunakan hak suara.

Jufri Budi pun berharap Bawaslu Kabupaten Anambas dapat mengambil langkah-langkah strategis untuk mencegah politik uang.

Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2020