Kaitannya Upah Minimum Provinsi (UMP) atau Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dengan rumah tinggal merupakan tanggung jawab pemerintah untuk memastikan warga negara kita itu mendapat rumah layak huni
Semarang (ANTARA) - Pakar perumahan dari Universitas Diponegoro (Undip) Asnawi Manaf memandang pemerintah perlu memperhatikan kemampuan buruh/pekerja memenuhi kebutuhan pokok, berupa rumah tinggal dengan selalu menaikkan upah minimum mereka setiap tahun.
"Kaitannya Upah Minimum Provinsi (UMP) atau Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dengan rumah tinggal merupakan tanggung jawab pemerintah untuk memastikan warga negara kita itu mendapat rumah layak huni," kata Dr Ing Asnawi Manaf ST di Semarang, Jawa Tengah, Jumat pagi.
Anggota Majelis Wali Amanat (MWA) Undip ini mengemukakan hal itu menjawab pertanyaan ANTARA mengenai penetapan UMP Jawa Tengah 2021 yang mengalami kenaikan 3,27 persen dari Rp1.742.015,00 menjadi Rp1.798.979,00 dengan kemampuan buruh/pekerja membeli rumah.
Baca juga: Undip inisiasi rumah bagi warga berpenghasilan di bawah Rp6 juta/bulan
Meski naik sebesar itu, menurut Asnawi Manaf, buruh/pekerja akan mengalami kesulitan untuk mendapatkan rumah murah karena biasanya pihak bank yang akan memberi pinjaman uang dengan cicilan sebesar 30 persen dari penghasilan mereka.
"Bayangkan sekarang dipatok UMP Jateng sebesar Rp1.798.979,00. Maka kalau UMP saja, cicilannya sebesar Rp539.693,70 per bulan," kata lulusan doktor Universitas Kassel Jerman ini.
Dengan kemampuan mencicil sebesar itu, menurut dia, tidak memungkinkan buruh/pekerja menjangkau cicilan Rp800 ribu/bulan sebagaimana Program Inclusive Housing and Urban Development Research Center (IHUDRC), salah satu pusat riset teknologi Fakultas Teknik Undip.
Baca juga: Gimik "rumah murah" tak sekadar tarik perhatian calon pembeli
Kendati demikian Asnawi yang pernah sebagai Wakil Dekan Fakultas Teknik Undip menyambut baik Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja karena UMK harus lebih tinggi dari UMP sebagaimana ketentuan dalam Pasal 88C Ayat (5). Bahkan dalam UU Cipta Kerja itu, ada larangan mengurangi atau menurunkan upah, sebagaimana diatur dalam Pasal 191A Huruf b.
Pasal itu menyebutkan bahwa bagi perusahaan yang telah memberikan upah lebih tinggi dari upah minimum yang ditetapkan sebelum undang-undang ini, pengusaha dilarang mengurangi atau menurunkan upah.
Dengan demikian, kata Asnawi, buruh/pekerja masih berpeluang untuk mendapatkan rumah dengan skema Kolaborasi ABCG yang kini sedang dilaksanakan di Perumahan Griya Perdana Ungaran. Perumahan ini berbasis komunitas dengan dukungan Program Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan (BP2BT) Swadaya.
Baca juga: UU Ciptaker akselerasi perpaduan bank tanah dan "ABCG"
Menyinggung kembali soal kemampuan buruh/pekerja membeli rumah, Asnawi menjelaskan bahwa penghasilan buruh/pekerja berasal dari UMK. Misalnya, harga rumah sekian dengan cicilan Rp800 ribu/bulan, paling tidak penghasilan mereka itu Rp800.000,00 x 4 atau Rp3,2 juta/bulan.
"Dengan UMK Semarang 2020 sebesar Rp2.715.000,00/bulan, misalnya, itu masih memungkinkan mencicil Rp800 ribu/bulan selama 15 tahun," kata Asnawi Manaf yang juga Kepala IHUDRC Undip Semarang.
Baca juga: Pengamat: Pertegas tugas badan perumahan, wujudkan rumah murah
Baca juga: Mendambakan dana murah dari Tapera
Pewarta: D.Dj. Kliwantoro
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2020