Walaupun masih terdapat 'typo' dan kesalahan teknis penulisan, UU Ciptaker tetap legal sebagai sebuah produk UU dan mempunyai daya berlaku serta mengikat semua pihak.

Jakarta (ANTARA) - Pakar hukum tata negara Universitas Muslim Indonesia Makassar Fahri Bachmid menyebutkan ada tiga opsi terkait dengan kesalahan pengetikan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

"Memang sejak semula pembahasan serta pembentukan UU Cipta Kerja ini secara terburu-buru, tidak sistematis, serta kurangnya partisipatoris dengan melibatkan sebanyak mungkin stakeholders yang ada dari undang-undang existing sebanyak 78 UU," kata Dr. Fahri Bachmid, S.H., M.H. dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Kamis.

Pelibatan pemangku kepentingan sebanyak mungkin itu, kata Fahri Bachmid, agar pembahasan secara optimal, teliti, cermat, dan hati-hati sehingga kesalahan teknis yang sifatnya administratif maupun substansial sejak dini dapat dideteksi serta diantisipasi untuk diperbaiki.

Baca juga: RUU Cipta Kerja perlu dibahas secara transparan cegah demo

Menurut Fahri, tiga opsi kebijakan hukum yang dapat ditempuh Jokowi terkait dengan kesalahan pengetikan dalam UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja adalah sesuai dengan prosedur yang berlaku dan konstitusional.

Pertama, bahwa di dalam UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 15 Tahun 2019 tidak ada pranata hukum serta pengaturan untuk tidak boleh mengubah redaksional UU sepanjang terkait dengan typo dan clerical error setelah ditandatangani dan diundangkan, atau tidak ada larangan untuk itu.

Artinya, kata dia, jika terdapat keadaan itu, secara hukum Presiden dapat saja berkoordinasi dengan DPR untuk melakukan perbaikan kesalahan teknis tersebut, sepanjang tidak ada implikasi terkait dengan perubahan norma yang telah disepakati bersama dalam sidang paripurna DPR, kemudian dapat diundangkannya kembali dalam lembaran negara sebagai rujukan resmi negara.

Kedua, Presiden dapat saja mengeluarkan perpu terkait dengan perbaikan atas kesalahan bagian tertentu dari UU No. 11/2020, berdasarkan ketentuan Pasal 22 Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009.

Langkah tersebut, menurut Fahri Bachmid, merupakan salah satu saluran konstitusional yang memadai dalam merespons keadaan objektif yang dihadapi pemerintah saat ini.

Baca juga: UU Ciptaker akselerasi perpaduan bank tanah dan "ABCG"

Selain untuk memperbaiki kesalahan typo, juga dapat menampung serta mengakomodasi berbagai aspirasi yang berkembang di tengah masyarakat terkait dengan UU Cipta Kerja untuk penyempurnaan.

Ketiga, Presiden segera mengajukan RUU Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ke DPR untuk dibahas bersama sesuai dengan mekanisme yang lazim yang telah diatur dalam UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

"Semua ini adalah pilihan-pilihan yang secara konstitusional dapat saja diambil oleh Presiden untuk mengatasi kondisi dan kebutuhan penyempurnaan hukum kontemporer saat ini," kata Fahri Bachmid.

Walaupun masih terdapat typo dan kesalahan teknis penulisan dalam UU No. 11/2020, kata dia, naskah dan dokumen itu tetap legal sebagai sebuah produk UU dan mempunyai daya berlaku serta mengikat semua pihak (publik).

Fahri mengatakan bahwa kesalahan ketik dalam UU Cipta Kerja memang tidak lazim dalam praktik ketatanegaraan yang terjadi sebelumnya. Selain itu, juga mengindikasikan bahwa administrasi pengesahan dan pengundangan undang-undang di Indonesia masih belum optimal dan cermat.

"Artinya, di Sekretariat Negara mutlak diterapkan prinsip zero mistakes (tidak ada kesalahan) serta asas principle of corefness, yaitu administrasi negara harus hati-hati dalam tindakannya agar tidak melahirkan kerugian bagi masyarakat. Ini adalah asas dan prinsip yang mutlak dipedomani oleh penyelenggara negara," katanya menjelaskan.

Baca juga: Entaskan UU Ciptaker dari pusaran hoaks

Pewarta: Zuhdiar Laeis
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2020