Cipanas (ANTARA News) - Istana Kepresidenan Cipanas yang terletak di Cipanas Cianjur menambah satu lagi fasilitas yang dapat dinikmati oleh masyarakat bila berkunjung ke Istana yang mulai dibangun pada 1740 tersebut.
Taman yang diberi nama Taman Herbalia oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu selain merupakan fasilitas terbaru dan menarik bagi kunjungan wisata juga merupakan sarana penelitian dan budidaya tanaman-tanaman yang memiliki khasiat sebagai pengobatan.
"Penanaman herbalia di sini sesuai dengan keinginan Presiden pada 2008 yaitu jamu sebagai tuan rumah di negeri sendiri. Juga sebagai upaya melestarikan kekayaan natural dan sebagai wisata herbal," kata Anggota tim dokter Kepresidenan dr Hardhi Pranata Sps.
Hardhi, yang juga Ketua Perhimpunan Dokter Herbal Indonesia menyatakan langkah mengembangkan taman herbal juga berangkat dari anjuran Menteri Kesehatan pada 6 Januari yang mendorong para dokter mau memakai jamu dalam pengobatannya.
Taman Herbalia seluas 2.600 meter persegi yang berada di sisi timur istana tersebut memiliki 207 jenis tanaman herbal yang merupakan percontohan bagi pengembangan tanaman tersebut di dalam negeri.
Nama Herbalia sendiri, menurut Ibu Negara Ani Yudhoyono merupakan nama yang dipilih oleh Presiden Yudhoyono bagi taman baru di Istana tersebut. Herbalia, kata Ani berasal dari kata Herbal atau tanaman yang memiliki khasiat pengobatan.
Pemberian nama itu, menurut Ibu Negara dilakukan oleh Presiden saat berada di dalam pesawat yang membawa rombongan kepresidenan pulang dari kunjungan kerja di Jawa Timur awal April menuju Bandara Halim Perdanakusuma Jakarta.
"Saat ditanyakan nama yang tepat, Bapak Presiden kemudian memikirkan beberapa saat dan menamakan Taman Herbalia," kata Ani di depan istri anggota kabinet Indonesia Bersatu II di Istana Cipanas.
Data dari situs resmi Sekretariat Negara menjelaskan Istana Kepresidenan Cipanas terletak di Desa Cipanas, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, kaki Gunung Gede, Jawa Barat.
Dibangun oleh seorang tuan tanah asal Belanda bernama Van Heots, pada ketinggian 1.100 meter dari permukaan laut, di atas areal lebih kurang 26 hektar dengan luas bangunan sekitar 7.760 meter persegi.
Pada tahun 1916, masa pemerintahan Hindia Belanda di bangun tiga bangunan dengan nama Paviliun Yudistira, Paviliun Bima dan Paviliun Arjuna. Pada tahun 1954, di masa Presiden I Republik Indonesia Ir. Soekarno, didirikan sebuah gedung berhiasan batu bertentuk bentol.
Dalam areal hutan istana, hingga tahun 2001, menurut Katalog yang disusun secara alfabetis terbitan Istana Kepresidenan berkerja sama LIPI tercatat sebanyak 1.334 spesimen, 171 spesies, 132 marga, serta 61 suku. Selain dengan lingkungan yang asri istana ini juga dialiri air panas. sebagai tempat peristirahatan dan persinggahan Presiden dan Wakil Presiden beserta keluarganya, para kepala negara tetangga yang berkunjung ke Indonesia. Pada tahun 1971, Ratu Yuliana meluangkan waktunya untuk singgah.
Presiden Yudhoyono sendiri, seperti Presiden Republik Indonesia yang lainnya tentu meninggalkan kenang-kenangan semasa masa jabatannya. Bila Bung Karno meninggalkan kenang-kenangan berupa gedung bentol, Presiden Soeharto meninggalkan kenangan berupa beberapa benda yang erat dengan cerita pewayangan dan wayang kulit maka Presiden Yudhoyono mewariskan kenangan Taman Herbalia yang kelak akan dikenang oleh penerusnya.
Tak sekadar kenangan
Meski akan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari Istana Cipanas, namun Taman Herbalia tak sekadar akan menjadi kenang-kenangan semasa pemerintahan Presiden Yudhoyono. Taman yang memiliki koleksi 207 tanaman berkhasiat untuk obat itu akan terus dikembangkan dan menambah koleksi setidaknya menjadi 400 jenis pada 2010 ini.
Menurut Kepala Pusat Studi Biofarmaka Institut Pertanian Bogor DR Latifah K Darusman, Taman Herbalia Istana Cipanas akan dikembangkan menjadi pusat percontohan pengembangan tanaman untuk obat, salah satunya meningkatkan koleksi dari 207 jenis menjadi 470 jenis.
Hardhi maupun Latifah sepakat bahwa di masa mendatang perlu keterlibatan produsen obat-obatan untuk memproduksi obat berbahan tumbuhan yang relatif tidak memiliki efek samping terutama bila dikonsumsi dalam waktu panjang.
"Kami kira nanti trendnya demikian, herbal ini `multi compound` dan bisa saling melengkapi untuk pengobatan baik penyakit regenaratif seperti kanker dan juga untuk menjaga kesehatan. Ini bisa untuk promotif meningkatkan kesehatan, preventif juga ada, serta kuratif tentunya," tegas Hardhi.
Ia menjelaskan di Eropa maupun di Amerika Serikat tren penggunaan tanaman sebagai bahan racikan obat terus meningkat, bahkan ada obat untuk kanker produksi luar negeri yang menggunakan bahan temulawak asal Indonesia, meski demikian masih banyak kalangan dalam negeri yang tidak mengetahui hal itu.
Peningkatan penggunaan tanaman berpotensi sebagai bahan obat di Indonesia, katanya, memerlukan kerjasama dan pemahaman semua pihak atas potensi yang dimiliki di dalam negeri.
"Kami mengajak dunia farmasi untuk mulai gunakan herbal, karena herbal yang terstandar ini potensinya besar," katanya.
Hardhi menambahkan pengembangan tanaman untuk obat-obatan di Indonesia memiliki potensi yang besar mengingat setidaknya ada sekitar 4.000 jenis tanaman yang dianggap memiliki khasiat untuk pengobatan.
"Secara empiris , jamu ratusan tahun dipakai oleh masyarakat, saat ini sudah 18 herbal yang lulus standar uji klinis, lima jenis masih proses. Presiden (Susilo Bambang Yudhoyono, red) ingin ada percepatan. Ini memerlukan sinergi antara Kementerian Kesehatan, Badan POM, Kementerian Pertanian dan pihak lainnya," katanya.
Ia menambahkan dalam waktu dekat untuk meningkatkan kompetensi dokter dalam penggunaan obat-obatan berbahan herbal, akan diresmikan program studi magister pengobatan herbal di Universitas Indonesia.
Menurut Hardhi, langkah mengembangkan taman herbal, berangkat juga dari anjuran Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih pada 6 Januari 2010 yang mendorong para dokter mau memakai jamu dalam pengobatannya.
Kembangkan dan patenkan
Ibu Negara Ani Yudhoyono meminta agar penggunaan tanaman yang memiliki khasiat pengobatan terus dipelihara sebagai bagian dari penghormatan kearifan lokal yang berguna bagi peningkatan kualitas keluarga Indonesia.
"Kebijakan ini hampir kita tinggalkan, sekarang kita cari praktisnya saja, padahal kita punya lokal wisdom, dan bila dikembangkan dengan baik bisa ada nilai ekonomis," kata Ani Yudhoyono.
Ia menambahkan,"dulu ibu saya mengajarkan minum jamu galian singset, kunyit asam, ada rasa manisnya, ada pula brotowali. Ini semua adalah kekayaan alam kita. Indonesia dikenal sebagai mega biodiversity."
Ibu Negara meminta agar pengembangan ini betul-betul dilakukan sehingga tidak menutup kemungkinan temuan-temuan obat dari tumbuhan ini bisa dipatenkan atas nama Indonesia.
Ani mengatakan hingga saat ini ia masih menggunakan lidah buaya untuk perawatan rambutnya dan hasilnya cukup memuaskan.
Bahkan puteri dari Jenderal Sarwo Edhi Wibowo itu mengatakan memiliki pengalaman menarik saat menggunakan tanaman herbal sebaga obat di lingkungan keluarganya.
"Dulu ketika masih kecil anak pertama kami suka menghisap bibir. Kami mencari bagaimana agar kebiasaan hilang, ternyata jawabannya menggunakan Brotowali dioleskan ke bibir dan karena pahit maka tidak menghisap bibir lagi," katanya yang kemudian diikuti tawa para peserta yang hadir.
Tak hanya memanfaatkan khasiat tanaman yang bisa menjadi obat, bahkan hingga saat ini Ani mengaku masih menggunakan lidah buaya untuk merawat rambutnya.
"Sampai saat ini saya masih menggunakan kearifan lokal itu. Misalkan untuk perawatan rambut. Sampai sekarang lidah buaya masih saya pakai sepanjang rajin dan sabar, Alhamdulillah anak rambut tumbuh kembali," katanya.
(T.P008/P003)
Pewarta: Oleh Panca Hari Prabowo
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010