Denpasar (ANTARA News) - Gurubesar Fakultas Hukum Universitas Udayana (Unud) Prof Dr Wayan P. Windia menilai, desa adat (pekraman) di Bali kini menghadapi beban tugas yang sangat berat dan harus dapat diselesaikan secara tuntas.
"Beban berat itu tidak hanya menyangkut urusan internal desa adat, namun juga urusan di luar Desa Pekraman sebagai konsekwensi logis terhadap terjadinya perubahan dalam berbagai bidang kehidupan," kata Prof P. Windia di Denpasar, Jumat.
Ia mengemukakan, kondisi tersebut memerlukan pemikiran dan pandangan baru dalam "menerjemahkan" berbagai permasalahan yang muncul, supaya dapat diselesaikan secara tuntas atas dasar musyawarah mufakat.
Pada sisi lain kasus dalam lingkungan desa adat tidak dapat dihindari, meskipun masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan mengalami perkembangan pesat serta tingginya kesadaran terhadap pemahaman hak asasi manusia (HAM).
Ia menambahkan, Bali yang memiliki 1.453 desa adat masing-masing mempunyai peraturan (awig-awig) yang telah disetujui oleh seluruh warganya.
Dengan demikian, situasi dan kondisi di masing-masing desa adat di Bali sangat beragam, sehingga tidak mungkin disamakan untuk menerapkan satu peraturan dalam membangun Bali "mawacara" yakni Bali yang tentram dan damai.
Meskipun demikian, tradisi kehidupan desa adat di Bali hingga kini tetap kokoh dan eksis sesuai perkembangan zaman, meski hal itu diwarisi jauh sebelum Indonesia merdeka.
Masing-masing desa pekraman mempunyai adat kebiasaan atau "awig-awig" untuk mengatur tatanan kehidupan, sesuai situasi dan kondisi objektif tempat, waktu dan keadaan (desa, kala, patra,).
"Kondisi yang diterapkan desa adat di Bali menurut pakar hukum adat Indonesia Koesnoe disebut sebagai cara penyelesaian sengketa yang dilandasi atas kerukunan, kepatutan dan keselarasan," tutur Wayan P. Windia.
Peran desa pekraman dalam menyelesaikan permasalahan yang muncul di wilayahnya masing-masing sangat besar. Jika ada masalah yang muncul, baik dipicu masalah pribadi, keluarga maupun masyarakat pertama-tama akan diselesaikan oleh perangkat pimpinan (prajuru) desa adat.
Jika kata sepakat tidak tercapai, maka permasalahan akan dibahas dalam rapat (paruman) yang melibatkan seluruh warga desa pekraman. Warga desa yang terbukti melakukan pelanggaran adat, namun tetap bersikukuh dengan pendiriannya, tidak bersedia menaati keputusan rapat dapat dijatuhi sanksi.
Sanksi tersebut mulai dari yang paling ringan berupa permintaan maaf kepada seluruh warga, sampai yang paling berat, berupa pemberhentian atau dikucilkan sebagai warga desa adat (kasepekang), demikian P. Windia.
(T.I006/C004/P003)
Pewarta:
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010