Kami fokus menangani COVID-19, namun bukan berarti menempatkan risiko perubahan iklim pada urutan kedua

Jakarta (ANTARA) - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan Pemerintah Indonesia tetap berkomitmen untuk menangani masalah perubahan iklim meskipun saat ini sedang fokus pada penanganan pandemi COVID-19.

"Kami fokus menangani COVID-19, namun bukan berarti menempatkan risiko perubahan iklim pada urutan kedua. Kami akan terus berkomitmen pada kebijakan dan instrumen dalam mengarahkan dan menangani masalah perubahan iklim," katanya dalam diskusi daring di Jakarta, Senin.

Baca juga: Pemerintah berkomitmen jaga keberlanjutan energi bersih

Ia menuturkan komitmen itu tercermin melalui dasar-dasar SDG’s yang menjadi arus utama dalam menentukan langkah seperti pada anggaran perencanaan pembangunan yang kemudian diterjemahkan ke dalam adopsi kebijakan dan instrumen.

"Tentu saja Pemerintah Indonesia berkomitmen penuh dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG's),” tegasnya.

Ia menyebutkan salah satu wujud komitmen pemerintah terhadap perubahan iklim juga telah dinyatakan melalui Paris Agreement yakni Indonesia akan mengurangi CO2 sebesar 26 persen dengan sumber daya sendiri.

"Artinya kami akan mengurangi CO2 sebesar 26 persen dengan sumber daya kami sendiri dan hingga 42 persen penurunan dengan dukungan internasional masih terus dilaksanakan secara konsisten," ujarnya.

Terlebih lagi, Indonesia bercita-cita dapat mencapai 23 persen atau 45 gigawatt (GW) energi terbarukan dalam bauran energi nasional pada 2025 mendatang.

"Artinya, untuk energi sekarang terutama listrik, yang memainkan peran yang sangat penting bagi PT PLN atau Menteri ESDM," katanya.

Di sisi lain, ia mengatakan Indonesia masih mengelola penggunaan 9,15 persen energi terbarukan di sektor kelistrikan pada tahun lalu yang setara dengan 11 persen penggunaan energi terbarukan dari total listrik yang dihasilkan.

"Jadi, ini tantangan besar bagi kita untuk mampu mencapai 23 persen bauran energi terbarukan dalam energi nasional kita," tegasnya.

Tak hanya itu, Indonesia yang juga memiliki potensi energi terbarukan sebesar 442,4 GW namun baru digunakan 10,4 GW atau 2,4 persen sehingga perlu kebijakan yang lebih baik.

"Pasti, ada sesuatu yang perlu kita ubah agar dapat digunakan dan memanfaatkan potensi yang sangat besar ini," ujarnya.

Oleh sebab itu, pemerintah memberikan insentif perpajakan berupa tax allowance, tax holiday, fasilitas pembebasan impor bagi perusahaan yang berinvestasi di energi terbarukan, dan pembebasan pajak bumi serta bangunan.

Kemudian, pada fiskal daerah pemerintah juga memberikan dana alokasi khusus atau hibah transfer khusus agar pemerintah daerah dapat mengembangkan infrastruktur untuk energi terbarukan terutama biogas surya dan pembangkit listrik tenaga panas bumi.

"Transfer ini juga kami sediakan agar kami dapat mendorong pemerintah daerah untuk mengatur caranya menjadi (mendukung) energi (terbarukan) sehingga akan memberikan ekonomi yang lebih sirkular," katanya.

Baca juga: Menteri Arifin: Transisi energi ke EBT mutlak diperlukan
Baca juga: Cadangan minyak menipis, Anggota DPR: Peluang besar untuk EBT

Pewarta: Astrid Faidlatul Habibah
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2020