"Kasus korupsi itu sudah berkali-kali dibongkar, tapi korupsi tetap saja ada karena itu sebaiknya ada perbaikan sistem," katanya setelah berbicara dalam seminar di Gedung PWNU Jatim, Kamis.
Di sela-sela seminar untuk memperingati 100 hari wafatnya mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) itu, mantan Menhan di era Gus Dur tersebut mengusulkan dua sistem yang diperlukan untuk "menghabisi" korupsi.
"Sistemnya, jatuhkan hukuman mati kepada koruptor dan buka peluang UU Pembuktian Terbalik untuk kasus korupsi, tapi UU itu memang harus diberlakukan secara hati-hati," katanya.
Menurut mantan birokrat, legislator, dan sekarang memimpin lembaga yudikatif (MK) itu, sistem pembuktian terbalik memang harus diberlakukan dengan ekstra hati-hati agar tidak jadi alat memeras.
"Kalau tidak hati-hati, sistem pembuktian terbalik itu akan dapat dijadikan alat memeras oleh penegak hukum, karena tersangka korupsi takut mati," katanya.
Namun, katanya, sistem pembuktian terbalik dapat dilakukan dengan sederhana, misalnya gaji seseorang pejabat adalah Rp10 juta per bulan, maka dalam dua tahun hanya Rp240 juta.
"Kalau dalam dua tahun ternyata dia memiliki uang Rp20 miliar, maka dia diminta untuk membuktikan asal-usul uang itu dalam 2-3 bulan dan bila tidak mampu memberikan bukti akan dijatuhi hukuman mati," katanya.
Dalam seminar itu, Mahfud MD sempat menyinggung kasus staf Ditjen Pajak yang menggelapkan uang Rp28 miliar sebagai koruptor yang tidak sendirian di institusi perpajakan.
"Di atas golongan Gayus (III-A) ada banyak mantan pejabat yang rata-rata memiliki uang Rp7 miliar, bahkan ada pejabat perpajakan yang memiliki uang Rp49 miliar yang disebut sebagai uang hibah. Hibah itu biasanya `kan untuk masjid, tapi itu untuk pejabat," katanya.
Seminar itu juga menampilkan KH Sholahuddin Wahid (Gus Sholah) yang merupakan adik kandung Gus Dur dan Pdt Simon Filantropha. Seminar diawali dengan istighasah, yasin, dan tahlil.(*)
Pewarta:
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2010