Hubungan OTT global dan operator telekomunikasi perlu dipertegas melalui kewajiban kerja sama
Jakarta (ANTARA) - Ketua Bidang Infrastruktur Broadband Nasional Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Nonot Harsono menilai perlunya pengaturan yang lebih jelas tentang keberadaan pemain bisnis model Over The Top (OTT) global di Indonesia.
"Hubungan antara OTT global dan operator telekomunikasi perlu dipertegas melalui kewajiban kerja sama. Dengan adanya kewajiban kerja sama, maka akan ada kejelasan status badan hukum OTT global sehingga OTT global juga dapat menjalankan kewajibannya di Indonesia, termasuk perpajakan," ujar Nonot dalam pernyataan di Jakarta, Minggu.
Nonot mengkhawatirkan jika OTT tidak segera diatur, dalam jangka panjang akan banyak mudaratnya. Jika operator telekomunikasi lokal tak dapat bersaing dengan OTT global dan ‘gulung tikar’ maka berpotensi mengancam kedaulatan digital Indonesia.
Baca juga: Kominfo formulasikan aturan proposional untuk OTT
Ia pun mengingatkan transformasi digital di Indonesia jangan sampai sepenuhnya dikuasai dan dikendalikan oleh pemain asing.
"Kedaulatan itu adalah memegang kendali sepenuhnya. Kalau big data ada di Facebook atau Google bagaimana kita ngomong kedaulatan? Agar OTT global ini memberikan manfaat dan menciptakan persaingan usaha yang sehat di Indonesia, pemerintah harus segera mengaturnya. Dibuat regulasi yang jelas. OTT global harus bisa berkolaborasi dengan pelaku usaha yang ada di Indonesia melalui jalur dan cara yang tepat," kata Nonot.
Ia mengatakan saat ini di beberapa negara, OTT global sudah membangun jaringan telekomunikasi sendiri, termasuk membangun kabel laut. Dahulu kabel laut dimiliki konsorsium perusahaan telekomunikasi, namun kini pemain OTT membangun sendiri.
Baca juga: Kemenparekraf nilai layanan OTT bisa promosikan film Indonesia
Komisioner Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Periode 2009 - 2015 tersebut juga menambahkan pemain OTT global yang selama ini telah masuk ke beberapa pihak untuk melakukan penggelaran infrastruktur dan jaringan di Indonesia, masih belum jelas status badan hukumnya.
Tanpa adanya kejelasan status badan hukum tersebut, maka OTT global bisa menghindari berbagai kewajiban termasuk kontribusi pajak kepada negara.
Memang saat ini sepak terjang layanan OTT global tengah menjadi sorotan dari otoritas persaingan usaha di berbagai negara. Mereka terindikasi melakukan praktik monopoli karena memegang kendali penuh atas platform serta infrastruktur digital.
Baru-baru ini Pemerintah Amerika Serikat melalui Departemen Kehakiman secara resmi telah melayangkan gugatan kepada raksasa mesin pencari Google atas tuduhan telah melakukan kegiatan secara ilegal melindungi monopolinya atas mesin penelusuran (search engine) dan iklan penelusuran (search advertising).
Baca juga: Hakim MK pertanyakan penyedia layanan OTT dalam revisi UU Penyiaran
Sementara itu Federal Trade Commission (komisi persaingan usaha di Amerika) dalam waktu dekat juga akan mengajukan gugatan antitrust ke Facebook karena kekuatan pasar dominannya di jejaring sosial.
Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Kodrat Wibowo mengatakan saat ini KPPU sudah melakukan pengawasan terhadap kegiatan usaha OTT global yang ada di Indonesia.
Dengan akan ditetapkannya UU Pelindungan Data Pribadi (UU PDP), Kodrat memastikan KPPU akan memiliki landasan hukum yang kuat untuk melakukan penindakan hukum terhadap OTT global yang berusaha di Indonesia apabila terbukti melakukan praktik monopoli.
"Presiden Joko Widodo menganggap Data is The New Oil. UU PDP menjadikan data sebagai komoditas yang sangat berharga dan perlu dilindungi, maka KPPU memiliki dasar yang kuat untuk bisa melakukan pengawasan dan penindakan," ujar Kodrat.
OTT adalah layanan dengan konten berupa data, informasi atau multimedia yang berjalan melalui jaringan internet.
Baca juga: Menkominfo ingin segera bahas RUU PDP dengan DPR
Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2020