Sanur (ANTARA News) - Jika ingin tahu demokrasi terpimpin itu bekerja, simaklah Kongres III PDIP di Sanur, Bali. Semua persoalan, debat, atau wacana, bisa diakhiri bila pimpinan partai sudah memutuskan.
Apa yang dikemukakan oleh Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri sepertinya menjadi kebenaran mutlak yang harus diikuti dan dilaksanakan oleh setiap kader partai.
Adanya pemimpin yang kharismatik merupakan kekuatan (sebagian pengamat mengatakan justru kelemahan) dari partai berlambang banteng moncong putih itu.
Megawati, yang sudah memimpin partai itu selama belasan tahun, tetap menjadi sumbu tunggal di PDIP yang menentukan kebijakan partai.
Pengamat politik Tjipta Lesmana menilai kepemimpinan Megawati sangat sentralistik. Oleh para pengikut dan kadernya, Megawati dikultuskan.
Pejah gesang, nderek Megawati. Benar atau salah, apa yang sudah diputuskan Megawati sebagai pemimpin tertinggi partai, harus diikuti dan dilaksanakan.
Jika Megawati sudah menegaskan PDIP tetap oposisi, misalnya, maka menjadi partai oposisi menjadi harga mati.
Itu sudah menjadi garis api yang tidak bisa dilewati oleh siapa pun, termasuk Taufik Kiemas, suaminya sendiri, yang pernah mewacanakan koalisi dengan Partai Demokrat dan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.
"PDIP tetap moncong putih, tolak jadi moncong biru!" begitu teriak aktivis Bendera yang berunjuk rasa di depan Hotel Inna Bali Beach saat Megawati menyampaikan pidato politik emosional yang diwarnai dua kali tangisan.
Moncong putih artinya oposisi. Moncong biru bermakna koalisi karena biru adalah warna Partai Demokrat.
Maka kontroversi Moncong Putih versus Moncong Biru punah sudah ketika Megawati pada pidato pembukaan Kongres memutuskan partai itu tetap berada di jalur oposisi dan menjadi penyeimbang pemerintah.
Partai nasionalis ini enggan menjadi Moncong Biru dan menolak iming-iming koalisi yang digagas Taufik Kiemas, Ketua Dewan Pertimbangan PDIP.
PDIP, menurut Megawati, akan tetap mengikuti takdir sejarah bahwa kekuasaan yang diberikan oleh rakyatlah yang akan diterima partainya, bukan kekuasaan yang diberikan oleh pihak lain.
Jika sampai banting haluan dari opisisi ke koalisi, ideologi PDIP bakal luntur dan hancur.
"Kita diajarkan dan ditakdirkan oleh sejarah untuk mengangkat harga diri. Itu lebih utama dari urusan bagi-bagi kekuasaan. Kita tidak akan menjadi bagian dari kekuasaan yang tidak berpihak pada rakyat," kata Megawati dalam pidato politik 45 menit yang berapi-api.
Pupus sudah
Begitulah. Mega sudah memutuskan oposisi, maka impian sejumlah kalangan dalam PDIP untuk koalisi pupus sudah. Impian untuk menjadi menteri di kabinet SBY bila ada pergantian pasca Pansus Bank Century, terpaksa harus dibuang jauh-jauh. Para penggagas Moncong Biru gigit jari.
Suasana pasca pidato politik di arena dan di luar Kongres berubah. Poster-poster dan spanduk yang ada tinggal yang mendukung oposisi. Yang pro koalisi sudah terpental.
Di pintu masuk Bali Inna Beach Hotel berjejer spanduk yang dipasang sejumlah DPD PDIP yang mendukung pilihan oposisi dan menolak koalisi. Orang-orang yang mengenakan kaos putih "Oposisi Harga Mati" makin banyak berlalu lalang dan bergerombol.
Di Jakarta, pekan lalu ada spanduk hitam yang dipampang dekat gerbang masuk Gedung DPR Senayan. Spanduk itu bicara soal pilihan menjadi oposisi atau koalisi.
Lambang PDIP tampak di tengah spanduk. Di sebelah kiri gambar banteng itu ada tulisan "Koalisi" berwarna putih dengan tanda panah di bawahnya menunjuk dua nama, yaitu Taufik Kiemas dan Puan Maharani.
Sedangkan tulisan "Oposisi" disisi lainnya juga disertai anak panah yang menunjuk Megawati dan Prananda (putera Megawati). Di atas lambang partai tertera pertanyaan: "Anda pilih yang mana?".
Spanduk itu kini telah hilang. Barangkali karena pilihan sudah jelas dan lugas. Megawati pilih oposisi. Itu garis partai yang sudah tidak bisa diganggu-gugat lagi. Layar sudah dikembangkan. Itu berarti surut untuk mundur dan kembali lagi.
Sesaat setelah menegaskan keputusannya beroposisi, Megawati mengutip ucapan bijak ayahnya, Bung Karno, pendiri Republik ini.
"Kerjakanlah kewajibanmu dengan tidak menghitung-hitung akibatnya. Majulah terus, jangan mundur. Mundur hancur, mandeg ambleg, bongkar, maju terus", katanya.
Kini tinggal para pengamat dan analis politik yang ramai mengomentari keputusan itu. Ada yang bilang bahwa bagi PDIP menjadi oposisi atau koalisi tidak banyak dampaknya bagi perolehan suara partai tersebut.
Pada Pemilu 2009 dengan posisi oposisi, PDIP hanya memperoleh 95 kursi (14 persen suara) dan menempati posisi ketiga setelah Partai Demokrat dan Golkar. Pada saat berkuasa pada Pemilu 2004, PDIP tidak bisa mempertahankan kemenangannya.
Artinya, PDIP kurang bisa memainkan perannya baik ketika berkuasa maupun ketika menjadi oposisi.
Saat berkuasa, tidak bisa menghasilkan kebijakan yang menarik publik. Saat beroposisi juga tidak bisa menggoreng isu yang menarik publik.
Itulah tantangan bagi pengurus baru PDIP periode 2010-2015.
(A017/B010)
Oleh Oleh Akhmad Kusaeni
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2010