Jayapura (ANTARA News) - Wilayah Papua memiliki peninggalan arkeologi yang sangat beragam dan cukup lengkap dari sisi pembabakan sejarah, mulai dari masa prasejarah hingga zaman pendudukan kolonial.
"Situs arkeologi yang ada di Papua merupakan kekayaan sejarah mengenai perjalanan perkembangan peradaban bangsa Indonesia," kata Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Arkeologi Nasional, Dr Tony Djubiantono di Jayapura, Rabu.
Situs arkeologi yang ditemukan di Papua, lanjut dia, adalah situs yang berkaitan dengan perkembangan antropologi, budaya, etnik dan peninggalan kolonial.
Tony mengatakan, situs purbakala tertua yang ditemukan di Pulau Papua berusia prasejarah, yaitu 40.000-30.000 tahun sebelum masehi. Situs yang berlokasi di Kabupaten Biak ini berupa gua-gua yang pada dindingnya dijumpai lukisan-lukisan dan fosil-fosil moluska atau cangkang kerang.
Menurut dia, penemuan fosil moluska menjadi indikator penting adanya aktivitas manusia purbakala, karena pada periode waktu tersebut menjadi makanan pokok bagi manusia prasejarah.
Selain di Biak, penemuan dari zaman megalitikum terdapat di Situs Tutari, Kabupaten Jayapura. Di tempat ini ditemukan bongkahan batu berlukis berbentuk binatang-binatang melata.
Sementara itu, peninggalan arkeologi dari zaman kolonial juga banyak ditemukan di beberapa daerah di Papua karena wilayah ini pernah diduduki bangsa Belanda sejak tahun 1900-an hingga pecah perang Pasifik di tahun 1940-an.
Situs zaman kolonial ini misalnya Situs Ifar Gunung, Situs Asei Pulau dan Situs Hirekombe di Kabupaten Jayapura.
Adapun peninggalan arkeologi yang berkaitan dengan sejarah masuknya agama Islam ke Papua, dibuktikan dengan ditemukannya Situs Makam Islam di Lapintal, Kabupaten Raja Ampat, Situs Islam di Pulau Nusmawan, Kabupaten Teluk Bintuni dan lain sebagainya.
"Potensi arkeologi ini merupakan kekayaan sejarah yang sangat bernilai, dan jika dikelola dengan baik bisa memberikan kontribusi bagi pembangunan, baik dari segi sosial budaya, pendidikan maupun ekonomi," ujar Tony. (LWA/K004)
Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010