Ada apa di balik pernyataan bupati ini
Timika (ANTARA) - Lebih dari 1.800 jiwa warga Banti 1, Banti 2, Opitawak dan Kimbeli, Distrik Tembagapura, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua memutuskan meninggalkan rumah, harta benda dan kampung halaman mereka sejak 6 Maret hingga 8 Maret 2020 untuk mengungsi sementara ke Timika karena terjadi kontak tembak antara aparat keamanan TNI-Polri dengan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB).
Di tengah desingan peluru dan bunyi tembakan yang saling bersahutan, warga empat kampung itu berbondong-bondong berjibaku berjalan kaki berkilo-kilo meter dari kampung mereka ke Kota Tembagapura dengan membawa bekal seadanya, hanya untuk bisa segera keluar dari situasi gawat darurat itu.
Rombongan besar warga itu didominasi oleh kaum perempuan dan anak-anak serta para lansia, bahkan beberapa diantaranya orang lumpuh dan bisu.
Tokoh Perempuan Banti Martha Natkime di Timika, Kamis, mengatakan eksodus warga dari empat kampung itu memang atas keinginan dan inisiatif warga sendiri karena takut menjadi korban konflik antara aparat TNI-Polri dengan KKB.
"Masyarakat memang punya keinginan sendiri keluar dari kampung karena takut jadi sasaran perang antara TNI-Polri dengan TPN-OPM. Bagaimana tidak takut, bunyi tembak-tembakan itu bukan jauh-jauh, tapi dekat dengan rumah mereka. Jadi, masyarakat yang bawa diri sendiri ke Timika," tutur Marthina.
Awalnya warga empat kampung itu tidak menginginkan diungsikan sementara ke Timika. Mereka menghendaki ditempatkan di area Sport Hall PT Freeport Indonesia di Kota Tembagapura.
"Kami awalnya tidak mau turun ke Timika, kami mau di Sport Hall saja karena kami masyarakat setempat, Tuhan sudah ciptakan kami di tempat itu," kata Marthina.
Namun setelah melalui negosiasi sengit melibatkan Kapolsek Tembagapura, Danramil Tembagapura, Kepala Distrik (Camat) Tembagapura dan perwakilan manajemen Freeport, perwakilan warga empat kampung itu akhirnya bersedia dievakuasi sementara waktu ke Timika.
Pihak Freeport kemudian menyediakan 13 armada bus karyawan untuk mengangkut warga empat kampung itu ke Timika.
"Jam 10 malam baru mereka angkut kami dengan bus turun ke Timika. Kami tiba tengah malam di Markas Kaveleri Mile 32 Timika sekitar jam 01.30 WIT. Sampai di situ masyarakat disuruh pergi tinggal di rumah-rumah keluarga yang ada di Timika," ujar Marthina.
Keputusan pemerintah daerah dan aparat TNI-Polri menempatkan warga empat kampung itu di rumah-rumah kerabatnya di Timika bukannya tanpa menimbulkan masalah.
Menurut Marthina, ada banyak warga yang tidak tahu alamat rumah kerabat mereka.
Belum lagi nasib para warga yang lumpuh, bisu dan janda dari Kampung Opitawak yang tidak memiliki keluarga di Timika, mereka akhirnya terpaksa ditampung oleh keluarga Bapak Yunus di Jalan Jeruk, Kelurahan Timika Jaya SP2.
"Di Timika semua serba uang, mau tinggal di rumah kontrakan masyarakat pikir-pikir mau bayar pake uang dari mana. Masyarakat ini tidak punya uang, kalau di kampung mereka terbiasa mendulang emas untuk bisa mendapatkan uang. Tapi kalau di kota, semua susah," ujar Marthina.
Baca juga: Haris Azhar: Ada yang tidak menghendaki warga Banti kembali
Baca juga: Pemkab Mimika berharap situasi Banti Tembagapura secepatnya pulih
Tidak diperhatikan
Marthina menyebut kondisi warga empat kampung dari Distrik Tembagapura yang selama tujuh bulan ini mengungsi ke Timika kini benar-benar memprihatinkan, tanpa ada perhatian serius dari Pemkab Mimika.
Lebih menyayat hati warga empat kampung itu, demikian Marthina, Bupati Mimika Eltinus Omaleng yang merupakan putra asli kelahiran Kampung Banti-Tembagapura justru terkesan kurang peduli dengan keberadaan ribuan jiwa warganya yang kini mengungsi di Timika.
"Bupati tidak terima kita, dia itu orang asli Tembagapura. Kita sama-sama dari atas, tapi tidak pernah siapkan tempat atau rumah untuk pengungsi dari Banti. Kalau seperti itu, masyarakat ini mau hidup bagaimana, kita mau bicara dengan siapa, siapa yang bisa pegang kita punya tangan," kata Marthina dengan suara terbata-bata sambil menahan tangisnya.
Selama tujuh bulan hidup di daerah pengungsian di Timika, warga empat kampung Distrik Tembagapura itu banyak yang mengalami stres dan trauma, bahkan tercatat delapan orang diantaranya sudah meninggal dunia.
Kondisi cuaca Timika dengan Tembagapura yang berbeda hawanya membuat warga semakin keteteran.
"Di Timika itu daerah panas, banyak penyakit malaria. Semua serba uang, mau jalan harus ada uang, mau makan harus ada uang. Kalau di kampung masyarakat biasa berkebun. Sekarang masyarakat sudah tidak ada uang, lalu mereka mau makan apa, mau bayar rumah kost pakai apa. Masyarakat benar-benar sudah sangat kesulitan," ucap Marthina.
Sejak Juni lalu Martina membuka Posko Pemulangan warga Banti, Opitawak dan Kimbeli di Kwamki Baru Timika.
Pembukaan posko tersebut bermula saat sejumlah warga empat kampung itu nekad pulang ke Tembagapura dengan berjalan kaki dari SP2 menuju Terminal Bus Gorong-gorong untuk meminta fasilitas transportasi dari PT Freeport.
Atas berbagai persoalan sosial tersebut, warga empat kampung Distrik Tembagapura kini menuntut Pemkab Mimika, manajemen PT Freeport Indonesia dan pimpinan TNI-Polri untuk segera memulangkan mereka kembali ke kampung halamannya.
Warga empat kampung itu meminta aktivis HAM yang juga Pendiri Kantor Hukum dan HAM Lokataru Foundation Haris Azhar untuk membantu keinginannya untuk segera kembali ke Banti, Opitawak dan Kimbeli.
"Tujuan kami hanya satu, kami mau pulang ke kampung. Bapak (Hari Azhar) harus bantu kami untuk pulang merayakan Natal di kampung. Karena kalau kami di Timika terus, masyarakat makin tambah sulit. Ada banyak yang diusir dari rumah kost karena tidak sanggup bayar. Satu rumah kost yang hanya satu kamar ditempati oleh lima sampai enam kepala keluarga. Ini benar-benar memprihatinkan," katanya.
Baca juga: 803 warga Banti-Kimbeli dalam proses evakuasi ke timika
Baca juga: Satgas akan evakuasi 500-an warga asli Papua dari Kampung Banti
Kunci gerbang Banti
Tokoh masyarakat Banti lainnya Kolinus Beanal mengatakan saat memutuskan dievakuasi ke Timika pada awal Maret lalu, perwakilan masyarakat empat kampung dengan pihak TNI-Polri, Pemkab Mimika dan manajemen PT Freeport menyepakati untuk mengunci pintu gerbang dari Kota Tembagapura menuju Kampung Banti.
"Kami sudah sepakat pintu gerbang ke Banti kita tutup rapat dengan gembok, siapapun tidak boleh buka. Kunci itu kami simpan dalam tas noken. Kami bukan pengungsi, tapi kami dievakuasi ke Timika. Kalau baku tembak sudah selesai, situasi sudah aman, kami harus kembali ke Tembagapura untuk buka gembok dan masyarakat bisa kembali ke kampung," kata Kolinus.
Kolinus justru mempertanyakan alasan Bupati Mimika Eltinus Omaleng melarang warga empat kampung itu kembali ke Tembagapura dan membuka kebun di dekat kampung dan pemukiman mereka.
"Bupati bilang masyarakat tidak boleh naik dan bikin kebun di atas. Ada apa di balik pernyataan bupati ini," tanya Kolinus.
Ia mendukung rencana pemulangan ribuan warga empat kampung itu kembali ke Tembagapura dalam waktu dekat, sebab Kampung Waa-Banti dan Opitawak merupakan kampung leluhur mereka sejak zaman dahulu sebelum pemerintah dan PT Freeport Indonesia masuk ke kawasan itu untuk mengolah kekayaan mineral emas, tembaga dan perak milik warga Suku Amungme.
Siap membantu
Mendengar keluh kesah warga empat kampung Distrik Tembagapura, Haris Azhar selaku kuasa hukum warga Tsinga, Waa-Banti, Aroanop (Tsingwarop) dan Forum Pemilik Hak Sulung (FPHS) atas area konsesi pertambangan Freeport di Tembagapura, Mimika menyatakan siap membantu memperjuangkan keinginan warga untuk bisa segera kembali ke kampung halaman mereka.
"Saya punya tugas untuk membantu anda semua. Kita akan susun rencana bagaimana caranya supaya masyarakat bisa segera kembali. Semua harus berani terima risiko. Apapun penghalangnya kita harus lawan, mau siapapun kita lawan," kata Haris.
Mantan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) pada 2010-2016 itu mengatakan akan proaktif mendatangi para pejabat dan instansi terkait untuk menyuarakan keinginan warga Distrik Tembagapura itu.
"Kami akan temui mereka-mereka (pejabat dan instansi terkait) untuk minta dibuka jalan karena masyarakat ini mau balik ke kampungnya. Misalnya tidak dibuka jalannya lalu tidak ada bus yang mau mengangkut, yah masyarakat ini akan jalan kaki dari Timika sampai di Banti dan Opitawak," kata Haris.
Baca juga: 300-an anak Kampung Banti Papua tidak bersekolah sejak sekolah dibakar
Baca juga: TNI dan Polri sudah kuasai Kampung Kimbeli dan Banti
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2020