Jambi (ANTARA News) - Konflik antara PT Tunjuk Langit Sejahtera (TLS), KUD Sadar dan petani sawit di Kabupaten Batanghari dan Tebo tak kunjung selesai, bahkan semakin meruncing dan bias, meskipun telah dilakukan pertemuan dan dengar pedapat antara PT TLS, petani, KUD, Pemprov Jambi, DPRD, Kejati dan kepolisian.
Ketua DPW Asosiasi Petani Kelapa Sawit (Apkisindo) Muhammad usai dengar pendapat di gedung DPRD Provinsi Jambi, Senin, mengatakan, setelah membahas panjang lebar, ternyata belum ada penyelesaian atas konflik PT TLS dan petani.
Menurut dia, konflik ini berawal dari pengaduan petani sawit (petani plasma Kabupaten Batanghari dan Kabupaten Tebo, red) yang merasa dirugikan oleh KUD Sadar dan PT TLS.
Kerugian tersebut terkait adanya surat tunggakan kredit KUD Sadar dari Bank Mandiri sebesar Rp128,5 miliar pada bulan Januari 2010 yang dibebankan kepada petani.
Muhammad menjelaskan, ada perbedaan persepsi yang bersifat kontradiktif dan kontra produktif antara petani plasma dengan KUD Sadar/PT TLS yang harus diluruskan dalam masalah hutang kredit kebun sawit.
Petani mengaku telah membayar angsuran kredit hingga lunas sejak tahun 1998 dan tidak pernah menerima utang dari Bank Mandiri tahun 2003, sementara untuk membangun kebun-kebun selama tiga tahap diperoleh dari dana Bank Bali tahun 1994 sampai dengan 1996.
Sementara menurut pihak KUD Sadar, khususnya PT TLS, petani masih punya hutang atau kredit yang belum lunas jumlahnya yang disamaratakan. Kredit Bank Mandiri tahun 2003 menjadi tanggung jawab petani kebun, juga dibangun tahun 2003 dari Bank Mandiri seluas 292 hektare dari 9.800 hektare.
Dalam surat Bank Mandiri dilaporkan nilai hutang petani justru semakin besar dari plafon lebih kurang Rp102,7 miliar menjadi Rp128 miliar dan angsuran petani tidak jalan atau macet.
Dalam rapat di DPRD yang pertama pada 24 Maret 2010, oleh pihak Bank Mandiri dilaporkan tunggakan hutang telah menjadi Rp133 miliar.
Dalam perjalanan proses kredit macet ini, petani dipaksa oleh KUD Sadar dan PT TLS untuk menandatangani Surat Pengakuan Hutang (SPH), baik yang ada di Tebo maupun di Kabupaten Batanghari.
Intruksi penandatanganan SPH ini dikirim melalui surat resmi dari PT TLS, dalam surat disebutkan jika petani tidak menandatangani SPH, dan jika petani plasma dibawah naungan KUD Sadar tidak menandatanganinya, TLS memaksa petani memanen sawit secara keseluruhan.
"Artinya seratus persen buah sawit yang ada di kebun petani harus dipanen lalu diserahkan ke TLS tanpa dibayar," ujarnya.
Sementara di lapangan, petani tidak diperbolehkan lagi memasarkan tandan buah segar (TBS) kepada pabrik kelapa sawit (PKS) di luar PT TLS, sehingga terjadilah bentrok antara petani dengan aparat kepolisian yang menjaga PKS.
Ketua KUD Sampurna M Amin Lok meminta kepada PT TLS agar tidak menyamaratakan petani yang sudah melunasi hutang dengan yang belum, sebab petani yang sudah melunasi hutang masih saja dipotong 30 persen oleh TLS saat menjual sawitnya, bahkan ada sawit petani yang tidak dibayar.
Selain itu, setiap petani dipaksa menandatangani SPH, jika tidak diancam kebunnya akan disita," kata Ketua KUD Sampurna dari Kabupaten Tebo ini.
Dalam dengar pendapat itu Ketua KUD Sadar Ahmad Effendi mengungkapkan surat intruksi penandatanganan SPH sudah tidak diberlakukan lagi.
Soal pemotongan pembelian sawit sebanyak 30 persen yang dilakukan PT TLS, Direktur PT TLS Andre Bastari menyatakan hal itu dilakukan sudah sesuai dengan ketentuan akad kredit dari pihak Bank Mandiri.
Soal penandatanganan SPH, itu dilakukan untuk mengetahui petani yang masih belum melunasi hutangnya, jika ada yang sudah melunasi dan lebih kelebihan membayar, uangnya akan dikembalikan.
Andre berjanji selanjutnya pihaknya tidak akan memotong 30 persen bagi petani yang sudah menyelesaikan hutang dan administrasi hutang.
Bagi petani yang menjadi anggota KUD Sadar atau perwakilannya akan dibayar sawitnya oleh TLS sesuai dengan waktunya, jika tidak dibayar TLS siap dituntut, dan TLS juga akan memegang perjanjian yang telah dibuat, yakni tidak ada TBS yang masuk ke TLS tidak dibayar. (YJ/K004)
Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010