Jakarta (ANTARA News) - Ada dua momentum besar soal pajak pada minggu pertama bulan April ini. Pertama, kabar gembira dari tindak lanjut tertangkapnya Gayus Tambunan dalam soal mafia pajak. Gayus mungkin akan "menyanyi" sehingga aktor-aktor di belakangnya makin berpeluang untuk diseret ke meja hijau. Ini bisa menjadi awal pengungkapan aspek sistemik dari mafia pajak.
Kedua, 1 april 2010 adalah awal berlakunya UU No 42 tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas UU No 8/1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Barang dan Jasa dan Pajak atas Barang Mewah. Yang menarik dari sini adalah, PPN berlaku untuk produk pakan, produk olahan pertanian dan perikanan. Isu kedua inilah yang menjadi fokus tulisan ini.
Isu PPN untuk pertanian sempat ramai dibicarakan menjelang pembahasan UU PPN pertengahan tahun lalu. Kala itu berkembang wacana mengenakan PPN kepada produk primer pertanian, peternakan, dan perikanan.
Wacana ini spontan ditentang berbagai kalangan. Diantara kelompok kritis itu adalah Direktorat Riset dan Kajian Strategis IPB dan InterCafe IPB yang langsung menggelar diskusi dan menyajikan hasil kajian yang menyimpulkan rencana itu tidak tepat.
Hasil studi Intercafe IPB pada 2009 menunjukkan, pengenaan PPN 10 persen akan berdampak negatif pada penurunan produksi karet (-9.31%), tebu (-9.99%), kelapa (-6.38%), kelapa sawit (-6.91%), peternakan (-9.65%), perikanan tangkap (-6.53%), perikanan budidaya (-9.18%), dan hasil hutan (-1.79%).
Tak lama kemudian Kantor Menko Perekonomian mengundang sejumlah kalangan, termasuk IPB, guna mendiskusikan soal PPN untuk pertanian itu. Dan forum ini pun menolak PPN untuk produk primer pertanian.
Persoalan ternyata belum selesai, karena wacana segera bergeser ke pemberlakuan PPN untuk produk olahan pertanian.
Ini pun mendapat tanggapan kritis khalayak. Banyak kalangan ini mengkhawatirkan aplikasi jenis pajak itu akan menekan harga produk primer yang disetor petani karena biaya produksi olahan naik dikerek oleh pemberlakuan PPN itu. Bagi industri, jalan satu-satunya meningkatkan daya saing produk olahan adalah menekan harga bahan baku.
Kritik terhadap PPN untuk produk olahan juga dilontarkan Sugema dan Nuryartono (2009) yang menyebut elastisitas transmisi harga kenyataannya bersifat tidak simetris. Seperti ketika harga dunia naik, produsen CPO hanya menaikkan harga pada proporsi kecil terhadap TBS yang dibeli dari petani.
Sebaiknya ketika harga turun, produsen CPO menurunkan harga dengan proporsi besar terhadap TBS. Bahkan, merujuk Indef (2005), pengenaan tarif pajak ekspor 1 persen telah menurunkan harga TBS di tingkat petani sebesar 1.3 persen.
Ironisnya, di bawah penentangan dan pandangan-pandangan kritis itu, UU itu malah disahkan.
Banyak kalangan kaget dan yang paling kaget tentu saja masyarakat perikanan karena ikan segar tidak termasuk yang dikecualikan. UU itu hanya mengecualikan beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging segar tanpa diolah, telur, susu, buah-buahan, dan sayur-sayuran.
Protes pun bermunculan. Publik mempertanyakan mengapa ikan tidak termasuk yang dikecualikan. Disinyalir ini terjadi karena kalangan perikanan tidak melakukan lobi intensif, seperti dilakukan para pelaku sektor pertanian sehingga sektor pertanian pun dikecualikan.
Para pelaku perikanan terpukul, karena mereka tahu UU itu akan menurunkan daya saing produk perikanan. Inilah yang membuat Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad gerah, untuk kemudian mendesak Menteri Keuangan agar meninjau kembali UU supaya produk ikan segar dikecualikan seperti produk-produk pertanian.
Kegerahan sang menteri membawa hasil. Begitu UU diberlakukan awal April ini, tiba-tiba saja ikan bebas PPN. Dalam tafsir baru terhadap UU ini, ikan tergolong daging segar. Meski ini adalah hanya permainan tafsir, namun reinterpretasi seperti itu malah menjadi solusi yang tepat.
Pertanyaannya kini, sudah selesaikah masalah perikanan dengan pajak ini? Tentu tidak.
Pertama, karena PPN masih berlaku untuk pakan ikan, yang dalam jangka pendek berpotensi membuat daya saing produk perikanan budidaya kita menurun. Ini karena komponen pakan sekitar 40-60 persen dari biaya produksi. Aplikasi CAFTA yang memungkinkan produk Vietnam masuk pasar Indonesia, pasti membuat harga patin domestik terancam.
Harga patin Vietnam kini sekitar Rp7.500/kg atau sama dengan biaya produksi patin Indonesia. Dengan harga jual patin Indonesia sekitar Rp9.000-10.000/kg, tentu akan berat untuk bisa bersaing dengan Vietnam.
Nah, jika harga pakan dinaikkan karena pengenaan PPN, maka biaya produksi otomatis makin tinggi lagi sehingga harga jual akan jauh lebih tinggi dari Vietnam. Ini kontraproduktif dengan rencana pemerintah mendongkrak produksi budidaya melalui gerakan minapolitan.
Kedua, berlakunya PPN untuk produk olahan perikanan, akan membuat kejadian seperti terjadi pada pertanian bisa terulang, bahwa elastisitas transmisi harga tidak simetris. Ada kekhawatiran baru, industri pengolahan akan dapat menekan harga yang disetor nelayan atau pembudidaya ikan, karena biaya produksi olahan akan meningkat setelah PPN diberlakukan.
Bagi industri, jalan satu-satunya meningkatkan daya saing produk olahan adalah menekan harga bahan baku. Tak ada yang mengharapkan soal ini terjadi. Oleh karena itu, perlu itikad baik dari berbagai pihak.
Industri bisa meningkatkan efisiensi dan produktivitas melalui inovasi teknologi, sehingga tetap memiliki daya saing tinggi meski harga bahan baku tidak turun.
Dari konteks ini, pemerintah perlu mengapresiasi industri yang tidak menekan harga bahan baku. Pemerintah juga harus memikirkan kelangsungan industri, termasuk menciptakan iklim yang kondusif, seperti peningkatan kualitas infrastruktur dan menghapus pungutan lain yang tidak perlu.
Dari paparan itu, tergambar sudah ternyata persoalan pajak juga mempengaruhi pertanian dan perikanan. Inilah yang acap disebut variabel makro. Variabel ini merupakan wilayah politik, dan bagaimana menciptakan iklim makro yang kondusif adalah wilayah politik.
Akhirnya, pertanian dan perikanan akan sulit maju jika tidak ada dukungan politik. Dan jika pemerintah ingin memajukan pertanian dan perikanan, maka tidak ada jalan lain yang harus ditempuh pemerintah kecuali mempertimbangkan dampak penerapan kebijakan apapun terhadap dua sektor vital itu. (*)
(**) Penulis, Dekan Fakultas Ekologi Manusia IPB, tinggal di Bogor.
Oleh Arif Satria (**)
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010