"Itu antara lain yang kami temukan selang kunjungan kerja (Kunker) di masa reses lalu ke sejumlah barak dan perumahan prajurit TNI di Indonesia," katanya kepada ANTARA di Jakarta, Senin.
Beberapa persoalan mendasar yang dihadapi para prajurit dan keluarganya itu, menurutnya, berturut-turut menyangkut perumahan, pendidikan, kesehatan, uang lauk pauk dan tunjangan tugas masih harus ditingkatkan.
"Di satu pihak, TNI dituntut untuk lebih profesional, tetapi di sisi lain, kesejahteraan prajuritnya haruslah layak, sehingga harapan rakyat adanya sebuah postur TNI yang tangguh dalam mengawal NKRI, ideologi Pancasila, kebhinekaan dan kekayaan bangsa ini, dapat diandalkan," tandasnya.
Itulah sebabnya, Fayakhun Andriadi dan beberapa pengamat tidak sependapat dengan beberapa pernyataan yang seolah menghendaki penghentian program remunerasi TNI akibat adanya kasus Gayus Tambunan.
Risiko Tugas
Secara terpisah, sebelumnya pengamat pertahanan dan politik luar negeri dari Universitas Parahiyangan (Unpar) Bandung, Dr Andreas H Pareira, mengatakan tidak adil dan malah sangat tak relevan jika kasus Gayus Tambunan dipakai sebagai alasan untuk menghentikan program remunerasi di lingkup TNI.
Ia mengatakan itu kepada ANTARA melalui hubungan telepon seluler, sehubungan dengan pernyataan Menteri Pertahanan (Menhan) yang menyatakan, "Jangan kaitkan remunerasi TNI dengan kasus Gayus Tambunan, sebagaimana dilansir sebuah media televisi di Jakarta, Jumat (2/4) malam."
"Sekadar `background`, remunerasi di Kementerian Pertahanan (Kemenhan) termasuk TNI baru dimulai tahun ini. Itu pun setelah melalui upaya perjuangan panjang sejak tiga tahun yang lalu," ungkap mantan anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan pada periode 2004-2009.
Dijelaskannya, ketika Menteri Keuangan (Menkeu) pada tahun 2007 menyampaikan rencana remunerasi di beberapa lembaga negara sebagai `pilot project`, Komisi I DPR RI mempertanyakan, "Mengapa Kemenhan tidak dimasukkan?"
"Kami pertanyakan itu, mengingat berat dan tingginya risiko tugas para prajurit TNI. Akhirnya, setelah dua tahun Komisi I DPR RI `ngotot`, barulah tahun lalu rencana remunerasi di lingkup Kemenhan disetujui," ungkapnya.
Rendahnya Kesejahteraan
Oleh karena itu, Andreas Pareira berulang-ulang menyatakan seputar ketidakrelevanan dan ketidakadilan kalau lantaran perilaku seorang Gayus Tambunan yang dituduh "memanipulasi pajak" serta pencucian uang, lalu membuat program yang merupakan bagian dari reformasi birokrasi itu dibatalkan di instansi lainnya.
"Ingat, Gayus Tambunan yang PNS peringkat pelaksana ini sudah menikmati remunerasi di lingkup Kemenkeu (dalam hal ini Ditjen Pajak,red.), dan menerima `take home pay` sebesar Rp12juta dari instansi `basah` pula," ujarnya.
Kondisi sangat berbeda terjadi di lingkup TNI yang hingga kini masih menghadapi banyak sekali keprihatinan, mulai dari kondisi barak serta asrama prajurit tak layak huni hingga rendahnya tingkat kesejahteraan pada umumnya, kata Andreas Pareira.
"Lihat saja kasus beberapa janda eks prajurit yang rumahnya mau di-`beslag` pegadaian, atau para purnawirawan yang terpaksa kena gusur di mana-mana. Itu menunjukkan situasi sangat bertolak belakang dengan apa yang dialami PNS di Kemenkeu, terutama Ditjen Pajak, tempatnya si Gayus itu," katanya.
Padahal, kata dia, prajurit TNI amat dibutuhkan dalam pengawalan NKRI, ideologi Pancasila, kebinekaan, dan kelangsungan bangsa ini.
"Bagaimana para prajurit ini bisa meningkatkan kualitas profesionalitas dan semangat kejuangannya jika kelayakan dan kesejahteraan hidupnya memprihatinkan? Padahal, tantangan mengamankan NKRI, baik itu ideologi maupun kekayaan alamnya dari serbuan asing, termasuk tetangga semakin meningkat," katanya.
Agar kasus Gayus Tambunan ini tidak harus membatalkan remunerasi di lingkup Kemenhan, termasuk TNI, menurut dia perlu dilakukan, dievaluasi dan merancang sistem yang bisa sesuai antara remunerasi dan peningkatan kinerja serta peningkatan "output".
"Dengan demikian, gaji naik diimbangi dengan kinerja prajurit TNI yang juga menjadi lebih baik," kata Andreas Pareira. (M036/K004
Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010