"Karena sebagian besar lahan tersebut adalah lahan inti yang menjadi milik perusahaan, sementara lahan yang melibatkan masyarakat dengan pola plasma masih sangat minim," kata Ketua DPRD Kotabaru Alpidri Supian Noor, di Kotabaru, Jumat.
Berbeda dengan di Provinsi Riau, lanjut Alpidri, luas kebun kelapa sawit di daerah tersebut diperkirakan baru sekitar 15 ribu hektare, namun pemerintah daerah telah memperoleh penerimaan rata-rata sekitar Rp10 miliar per tahun.
Belum lagi dengan pola kemitraan dengan masyarakat, keberadaan kebun kelapa sawit benar-benar mempengaruhi peningkatan kesejateraan masyarakat, khususnya mereka yang berada di sekitar kebun perusahaan.
"Program plasma benar-benar menjadi tujuan utama pemerintah, sehingga setiap perusahaan perkebunan yang akan masuk diwajibkan membuka kebun plasma dengan perbandingan 60 persen kebun inti dan 40 persen," ujarnya.
Bahkan lanjut dia, sebagian perusahaan ada membuka perkebunan dengan perbandingan 50 persen lahan inti dan 50 persen lahan plasma.
Menurut dia, hal itu dapat terjadi karena komitmen pemerintah dengan perusahaan perkebunan sejak awal masuk.
"Pemerintah setempat dapat memberikan izin perkebunan jika perusahaan bersedia membuka program plasma sesuai keinginan pemerintah. Mereka sepakat," jelasnya.
Namun apa yang terjadi di Kotabaru, kata Alpidri, perusahaan perkebunan kelapa sawit membuka program plasma seperti terpaksa.
"Bahkan jika pun dibuka plasma, tidak ada perusahaan yang membuka plasma lebih dari 20 persen," kata dia.
Hal itu karena komitmen pemerintah terhadap kesejahteraan masyarakat masih cukup rendah.
Yang lebih tragis lagi, kata Ketua DPRD Kotabaru, hingga saat ini masih banyak program plasma menghadapi permasalahan yang tidak kunjung selesai. (I022/K004)
Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010
Sah saja, jika kemudian sawit Indonesia dan produk olahannya masuk pada produk pembangunan TIDAK ramah lingkungan. Nah kalau di pajak ada cucian duit, di perkebunan sawit pun ada program green wash.