Jayapura (ANTARA News) - Siswa sering tertekan mentalnya dengan target tinggi yang dicanangkan orangtua dan guru terutama menjelang pelaksanaan ujian, kata dr. Caroline MSc SpKJ salah seorang psikiater di Jayapura, Jumat.

"Target tinggi itu membuat siswa menjalani hari demi hari penuh dengan pembinaan akademik, jam tambahan, les, dan berbagai macam bimbingan belajar yang penuh dengan suasana menegangkan. Hal ini merupakan stresor bagi pelajar," katanya.

Menurut dia, kondisi itu diperburuk oleh kelalaian orangtua untuk menguatkan kondisi mental siswa agar memiliki ketahanan dalam menghadapi kondisi penuh ketegangan tersebut, termasuk kesiapan terhadap kemungkinan gagal.

Dalam hal ini gagal bukan berarti hanya tidak lulus, tetapi juga gagal mendapatkan peringkat prestasi yang ditargetkan seperti keinginan untuk mendapat nilai ujian tertinggi, kemampuan untuk masuk sekolah favorit, dan keinginan lainnya yang mungkin tidak bisa mereka capai.

"Kelalaian orangtua dalam penguatan mental tersebut dimungkinkan terjadi mengingat semua pihak terpaku dalam pencanangan target dan persiapan akademis," katanya.

Ia mengatakan, hal lain yang mempengaruhi meningkatnya stresor bagi pelajar adalah saat orangtua yang awalnya santai menyikapi anaknya menjelang ujian, bisa berubah ketika mereka melihat orangtua siswa lain cukup intensif menyiapkan anaknya.

"Akibatnya, tidak jarang siswa menjadi tertekan dengan target yang tinggi tersebut," katanya.

Oleh karena itu, orangtua wajib menjadi pendamping utama bagi anak dalam menghadapi masa ujian seperti saat ini hingga pascapelaksanaan.

Mendampingi bukan hanya secara fisik, tetapi juga memotivasi anak tanpa penekanan dan berdialog terhadap berbagai problem yang dihadapi anak dan mendiskusikan solusinya.

Selain itu, juga menguatkan mental anak agar bersikap fleksibel dalam menghadapi masalah dan tidak menambah beban anak dengan tuntutan yang tinggi.

Ia mengatakan, orangtua juga sebaiknya tidak menjadikan anak sebagai alat untuk mewujudkan ambisinya sehingga anak menjadi terbebani. Jika gagal, anak tidak hanya kecewa karena harapannya sendiri gagal tetapi juga merasa telah mengecewakan orangtua dan guru.

Sebagai pendidik, guru juga harus peduli terhadap sisi kematangan kepribadian siswa di samping keunggulan intelektualnya.

Guru juga harus mampu menciptakan pribadi yang siap berkompetisi secara sehat dan siap dengan segala konsekuensinya, dan matang dalam menghadapi berbagai problem dan siap memimpin bangsa dengan kecerdasan dan kebijakannya.

"Dengan kuatnya sisi mental, para pelajar diharapkan selalu siap, baik siap sukses maupun gagal," tandasnya.(KR-ALX/R009)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010