Jakarta (ANTARA) - Mahkamah Konstitusi (MK) memutus pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT) berupa pemeriksaan investigatif untuk mengungkap kerugian negara yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) konstitusional.
Dalam sidang pengucapan putusan di Gedung MK, Jakarta, Senin, yang disiarkan secara daring, MK tidak menerima permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
Hakim Konstitusi Arief Hidayat saat membacakan pertimbangan hukum menuturkan undang-undang tersebut mengatur PDTT dapat dilakukan untuk memperjelas pembuktian ada atau tidaknya penyalahgunaan keuangan negara atau tindak pidana korupsi sehingga lebih fleksibel.
Baca juga: PDTT disebut bukan hanya pemeriksaan investigatif
Meski fleksibel, untuk melakukan PDTT, BPK diwajibkan menyusun standar pemeriksaan keuangan negara seperti diatur dalam Pasal 31 UU BPK dan Pasal 5 UU Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
Kini standar pemeriksaan yang digunakan oleh BPK adalah standar pemeriksaan keuangan negara (SPKN) yang ditetapkan melalui Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 1 Tahun 2017 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (PBPK 1/2017).
Penyempurnaan standar pemeriksaan pun dilakukan secara berkesinambungan sesuai kebutuhan pelaksanaan pemeriksaan BPK, dengan memperhatikan perkembangan teori pemeriksaan, dinamika masyarakat yang menuntut adanya transparansi dan akuntabilitas, serta kebutuhan akan hasil pemeriksaan yang bernilai tambah.
Baca juga: BPK perkuat sinergi hasil pemeriksaan dengan Polri serta Kejaksaan
Untuk mencegah kemungkinan penyalahgunaan wewenang dalam pengelolaan keuangan negara seperti yang didalilkan pemohon, pelaksanaan PDTT didasarkan pada keputusan BPK sebagai suatu lembaga, bukan perorangan.
Selain itu, putusan secara institusional pelaksanaan PDTT dilakukan terhadap institusi/lembaga yang telah diberikan status opini wajar tanpa pengecualian (WTP) oleh BPK.
"Dengan keputusan demikian, pada satu sisi, BPK menjadi lebih berhati-hati dalam memberikan status opini WTP dan di sisi lain, status opini tertinggi tersebut tidak mudah tergerus oleh hasil pemeriksaan PDTT yang dilakukan sebagai kelanjutan dari pemeriksaan sebelumnya," ujar Arief Hidayat.
Baca juga: BPK gelar sosialisasi akuntabilitas pengelolaan keuangan negara
Selain pertimbangan itu, MK menilai para pemohon, yakni Ibnu Sina Chandranegara, Auliya Khasanofa, dan Kexia Goutama yang merupakan akademisi serta mahasiswa tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan pengujian terhadap Pasal 4 ayat (1) UU BPK dan Pasal 6 ayat (3) UU Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara itu.
Pewarta: Dyah Dwi Astuti
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2020