Jakarta (ANTARA) - Direktur Eksekutif Indonesian Democratic (IDE) Center C David Kaligis menyebutkan potensi konflik dalam penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020 di tengah pandemi COVID-19 akan terjadi, sehingga pelaksanaannya harus diawasi secara ketat.
"Pelaksanaan pilkada di tengah pandemi Covid-19 emang dilematis, karena di satu sisi kesehatan rakyat menjadi prioritas utama, namun di sisi lain pilkada harus tetap dilaksanakan sebagai sarana sirkulasi elit politik di tingkat lokal dan juga untuk menghindari kekosongan hukum dan kevakuman kekuasaan di daerah yang dapat berujung pada persoalan ketatanegaraan yang pelik menjadi sebuah keniscayaan politik," kata David di Jakarta, Minggu.
Namun demikian, lanjutnya, ada beberapa hal yang harus serius diperhatikan berkaitan penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020 yang tidak bisa dianggap remeh.
Pertama, kata David, rezim hukum pemilu dalam pelaksanaan pilkada tidak akan berjalan efektif kendati penyelarasan regulasi dengan aturan teknis yang mengatur protokol kesehatan dibuat untuk memastikan pilkada berjalan sesuai dengan protokol kesehatan.
Baca juga: KPU diminta maksimalkan protokol kesehatan dalam Pilkada
Kedua, kata David, potensi terjadinya "electoral frauds", yakni penyimpangan-penyimpangan pada proses pelaksanaan Pilkada 2020 di tengah pandemi COVID 19 hampir dipastikan terjadi baik secara kasuistik maupun sporadik, bahkan dapat berkembang menjadi massif.
Dia mencontohkan dalam pemungutan suara nanti 9 Desember 2020, masyarakat yang akan hadir ke TPS-TPS tempat mereka memilih harus mematuhi protokol kesehatan, seperti "sosial distancing" atau menjaga jarak.
"Maka otomatis akan terjadi antrian panjang yang akan mengakibatkan mundurnya waktu dalam proses pemungutan suara di TPS-TPS yang bisa berdampak pada pelanggaran teknis soal rentang waktu sesuai dengan peraturan yang berlaku. Dan tenaga penyelenggara di tingkat bawah pun akan semakin terkuras dengan mundurnya waktu di TPS-TPS," jelasnya.
Hal itu tentu dapat menyebabkan penyelenggara di tingkat bawah kelelahan dan melakukan kelalaian atau lebih jauh lagi tragedi penyelenggara yang tewas akibat kelelahan di Pemilu 2019 terulang kembali.
Baca juga: Bawaslu RI mencatat 612 pelanggaran protokol kesehatan selama kampanye
"Ketidakpuasan atas kekalahan karena cacatnya penyelenggaraan pilkada dan tumpulnya penegakkan hukum karena kecurangan-kecurangan yang 'terang' di saat masa COVID-19 dapat mengakibatkan pengerahan atau mobilisasi massa untuk menuntut keadilan elektoral. Apalagi sambil menunggangi isu politik nasional yang sedang hangat," jelasnya.
Keempat, tambah dia, sebagai elemen dasar dari instrumen pemilu, persoalan hak pilih masyarakat di Pilkada saat pandemi Covid 2019 ini harus dijadikan perhatian bersama, baik penyelenggara pemilu, aparat penegak hukum, organisasi kemasyarakatan atau elemen-elemen sipil maupun masyarakat pemilih sendiri.
"Di saat normal saja surat undangan pemilih, yakni form C6 banyak yang tidak sampai ke tangan pemilih atau ditimbun oleh oknum-oknum tertentu, apalagi di tengah Pandemi," ujar David.
Begitupun persoalan Daftar Pemilih Tetap (DPT), khususnya di hari pemungutan suara.
Baca juga: Bawaslu: Pelanggaran protokol kesehatan Pilkada meningkatkan dua kali
Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2020