Jakarta (ANTARA) - Alkisah Raja Medang Kamulan, Aji Saka, yang baru saja bertahta memerintahkan kepada utusannya bernama Dora agar mengambil pusaka yang ia titipkan pada abdi setianya di negeri seberang.
Dora pun menemui Sembodo, sang abdi setia Aji Saka, menyampaikan niatnya, namun Sembodo berkeras menolak lantaran pesan tuannya yang menegaskan bahwa tak ada yang boleh mengambil pusaka itu darinya selain Aji Saka sendiri.
Keduanya pun terlibat dalam perselisihan sengit yang berujung pada saling bunuh satu sama lain. Lama tiada kabar, Aji Saka menyusul dan mendapati keduanya telah menjadi mayat.
Pilu dan sadar akan kesalahannya dalam menimbulkan kesalahpahaman bagi kedua abdi setianya, Aji Saka, menuliskan sebuah bait puisi "hana caraka, data sawala, padha jayanya, maga bathanga", yang berarti ada dua utusan terlibat dalam perselisihan, mereka sama-sama kuat sampai akhirnya sama-sama menjadi mayat.
Puisi itu kemudian menjadi pangram sempurna dengan kalimat holoalfabetis yang menjadi cikal bakal bagi aksara Jawa yang ada hingga kini.
Meski kisah itu menjadi titik balik bagi berakhirnya kebutaan masyarakat Jawa akan sejarah yang sebelumnya tak teraksarakan (di luar sanggahan dari sumber sejarah yang lain), namun sejati-nya merupakan pelajaran yang sarat tentang pentingnya komunikasi yang baik.
Legenda Aji Saka pun sejati-nya merupakan pelajaran tentang betapa kesalahpahaman membawa pada akibat yang sangat fatal.
Ketika semua sadar bahwa komunikasi adalah tentang “mengerti” dan “paham” sehingga kadang tak terbatas pada kesamaan bahasa melainkan intensitas dan ketepatan menyampaikan. Bukan melulu terbatas pada keharusan menggunakan bahasa yang sama sebab hanya dengan bahasa isyarat pun komunikasi bisa berjalan dengan baik.
Pelajaran berabad-abad silam itu rasanya masih relevan hingga kini ketika komunikasi publik menjadi barang yang begitu mahal sehingga bangsa ini pun harus membayar tak murah akibat dari kurang efektifnya komunikasi publik yang dilakukan.
Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) menjadi teladan yang konkret manakala komunikasi publik tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Baca juga: Bertemu Kadin Indonesia, Amerika Serikat sambut positif UU Cipta Kerja
Baca juga: Menaker jamin UU Cipta Kerja tetap sejahterakan pekerja
Tak perlu bicara soal kerusakan fisik yang ditimbulkan, sebab bahkan hingga detik-detik menjelang naskah final-nya masuk dan diundangkan dalam lembar negara saja UU itu masih diperdebatkan.
Sebenarnya Presiden Jokowi pun menyadari hal itu, sampai pernah dalam satu rapat bersama jajaran-nya ia menyampaikan bahwa jangan sampai komunikasi publik yang buruk terkait UU Ciptaker terulang saat kebijakan vaksin COVID-19 diluncurkan di kalangan masyarakat.
Jokowi sadar betul bahwa komunikasi publik yang diterapkan saat UU Ciptaker berjalan kurang efektif. Bahkan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengakui bahwa komunikasi publik pemerintah sangat buruk ketika menggodok UU Cipta Kerja. Semua jajaran kabinet, ujar Moeldoko, kena tegur oleh Presiden Jokowi.
Belajar dari omnibus law ini, kata Moeldoko, pemerintah akan memperbaiki gaya komunikasi menjadi lebih baik. "Ini sebuah masukan dari luar maupun presiden, kami segera berbenah diri untuk ke depan lebih baik," ujar Jenderal Purnawirawan TNI ini.
Satu Pintu
Indonesia memang hadir dengan keunikan yang luar biasa, sebagai negara demokrasi terbesar, bangsa ini tak bisa dibandingkan dengan negara manapun di dunia, termasuk dengan China sekalipun.
Cara-cara Pemerintah China untuk menggunakan kantor berita nasionalnya, Xinhua, dalam menjalankan misi penyampaian informasi secara searah tak akan sepenuhnya bisa diterapkan di Tanah Air.
Xinhua terkesan sukses menjalankan misi multilateralisme China kepada dunia dengan meluruskan berbagai isu miring terkait Negeri Tirai Bambu itu di mata dunia internasional. Pun peran Xinhua di dalam negeri yang cenderung sentralistik sehingga informasi pemerintah yang disampaikan terjaga pada satu pintu.
Kembali ke sistem yang ada di Indonesia, para bapak pendiri bangsa di negeri ini sejati-nya telah meletakkan batu pijakan yang amat sangat demokratis ketika masyarakat dipermudah mengakses informasi publik.
Saluran informasi pun dibuat beragam mulai dari lembaga penyiaran publik yang dimiliki negara dari radio hingga televisi. Sementara posisi kantor beritanya pun diperkuat sebagai badan usaha milik negara yang independen dalam mengelola informasi.
Baca juga: Moeldoko: Pemerintah perhatikan aspirasi mahasiswa terkait UU Ciptaker
Baca juga: Masyarakat dapat akses UU Cipta Kerja setelah ditandatangani Presiden
Di sisi lain, ada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) yang sekaligus mengemban amanah sebagai humas pemerintah atau "government PR".
Sementara di setiap kementerian/lembaga hingga BUMN selalu ada bagian khusus kehumasan yang bahkan sempat ada wacana dikonsolidasikan.
Pada puncaknya di Istana Kepresidenan, Presiden secara khusus telah menunjuk Juru Bicara (Jubir) Kepresidenan, bahkan beberapa di antaranya terspesialisasi pada bidang, misalnya Jubir Presiden Bidang Sosial atau pun bidang lainnya.
Tak hanya itu, pejabat di sekitar Presiden, misalnya, Mensesneg, Seskab, Kepala Staf Kepresidenan, hingga Staf Khusus pun memiliki hak yang sama untuk berbicara dan menyampaikan informasi langsung kepada publik atas nama Istana atau Presiden.
Namun, apakah seluruhnya telah berjalan dengan baik? Pada tataran ideal jika seluruhnya berjalan dengan harmoni yang selaras sejati-nya masyarakat Indonesia akan menjadi masyarakat paling teredukasi informasi dengan sangat baik.
Menjadi ironi ketika dalam praktiknya justru saluran informasi publik pelat merah saling bertabrakan lantaran agenda setting dan narasi yang berbeda satu sama lain.
Publik pun bingung sementara hoaks dan kabar bohong mengambil kesempatan mengisi ruang publik yang kosong. Maka terbentuk-lah kelompok masyarakat yang terhasut menjelma menjadi gelombang massa yang destruktif.
UU Ciptaker
Setiap regulasi selalu diawali dengan adanya niat baik, setidaknya itulah yang senantiasa ingin disampaikan oleh Ketua Komisi VI DPR RI Faisol Riza. Sebab sesungguhnya UU Ciptaker didasari oleh niat baik untuk mengatasi berbagai persoalan bangsa ini terutama di tengah pandemik COVID-19.
Maka sudah semestinya bangsa ini melihat sisi positif minimal bertabayun dan iqro (bacalah) sebelum memutuskan untuk bersikap. Namun, bukankah niat baik ada kalanya bisa menimbulkan salah sangka jika disampaikan tanpa komunikasi yang baik?
Pernah suatu kali pada beberapa waktu ketika naskah final telah sampai di Istana Kepresidenan, Mensesneg Pratikno ditanya oleh wartawan terkait perbedaan halaman hingga isu adanya pasal yang dihilangkan di dalamnya.
Pratikno tidak seketika menjawab sehingga pertanyaan wartawan yang disampaikan secara tertulis melalui pesan di WA grup semakin banyak. Ia sendiri terkesan kemudian kerepotan meladeni pertanyaan tersebut sampai akhirnya Staf Khusus Presiden Bidang Hukum Dini Purwono turut menjawab pertanyaan-pertanyaan wartawan.
Meski pada akhirnya memberikan penjelasan, namun media mendapati bahwa tak ada koordinasi yang baik yang terencana sehingga silang sengkarut bahkan hanya soal halaman pun masih berlanjut.
Tentang perbedaan jumlah halaman, misalnya, Pratikno menyampaikan bahwa mengukur kesamaan dokumen dengan menggunakan indikator jumlah halaman, itu bisa mis-leading. Sebab, naskah yang sama, yang diformat pada ukuran kertas yang berbeda, dengan margin yang berbeda dan font yang berbeda, akan menghasilkan jumlah halaman yang berbeda. Ia menegaskan, setiap naskah UU yang akan ditandatangani Presiden dilakukan dalam format kertas Presiden dengan ukuran yang baku.
Belajar dari situlah, Ketua Dewan Nasional Institut Kebijakan Publik Nusantara Achmad Yakub mengusulkan ada harmonisasi di tingkat pemerintah dalam menyampaikan komunikasi publik.
Menurut dia terlalu banyak tim, terlalu banyak peran, dan terlalu banyak penugasan seringkali justru rentan bagi terjadinya benturan dalam pelaksanaan. Terlalu gemuk sebuah organisasi seringkali tidak efektif, melainkan mereka yang ramping lebih cenderung efektif dan efisien.
Di luar itu semua, Indonesia membutuhkan konduktor yang hebat dari sisi penyampaian komunikasi publik, agar kebijakan yang disampaikan bisa menjadi acuan bagi semua.
Ibarat orkestra meski menghasilkan bunyi yang berbeda-beda tapi mendengarkan konser-nya adalah cita rasa seni yang agung.
Sepertinya bangsa ini harus kembali belajar dari sejarahnya tentang betapa getir-nya makna kesalahpahaman yang tersemat dalam filosofi aksara Jawa, hana caraka!
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2020