London (ANTARA News/AFP) - Pemerintah Inggris meragukan kredibilitas penyelenggaraan Pemilu pertama Myanmar dalam 20 tahun terakhir yang akan dilangsungkan tahun ini.
Dalam pernyataan kantor Perdana Menteri Inggris Gordon Brown, Selasa, disebutkan bahwa "tidak ada prospek" terhadap adanya prinsip bebas, jujur dan inklusif dalam Pemilu Myanmar tersebut.
PM Brown mengatakan, junta militer Myanmar telah "menyia-nyiakan" peluang bagi terwujudnya rekonsiliasi nasional.
Ia juga meminta pemerintah Myanmar agar mengizinkan Pemimpin Oposisi Aung San Suu Kyi ikut dalam Pemilu itu.
Awal pekan ini, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) telah menegaskan rencananya memboikot pelaksanaan Pemilu tersebut sebagai protes atas UU Pemilu baru yang dikenalkan junta militer.
Partai politik Aung San Suu Kyi itu memutuskan tidak mendaftar sebagai peserta Pemilu.
Keraguan atas kredibilitas Pemilu Myanmar itu sebelumnya juga disuarakan Pemerintah Amerika Serikat (AS).
Keraguan Gedung Putih itu dipicu oleh UU Pemilu yang jika pengesahannya dilakukan rezim junta militer di Yangon tanpa melibatkan para pemangku kepentingan lain.
"Kami mengimbau pihak berwenang Myanmar memulai dialog politik dengan seluruh pemangku kepentingan ...," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri AS, Philip Crowley, baru-baru ini.
Dialog politik yang substantif itu merupakan langkah awal menuju penyelenggaraan Pemilu yang kredibel tahun ini, katanya.
Berkaitan dengan pelaksanaan Pemilu pertama dalam 20 tahun terakhir itu, Aung San Suu Kyi yang masih menjalani tahanan rumah mengatakan pekan lalu bahwa dia tidak akan menerima pendaftaran partainya karena UU Pemilu yang menurutnya tidak adil.
Pemilu adalah bagian dari tahap ketujuh "Peta Jalan menuju Demokrasi" Myanmar, termasuk UUD baru kontroversial yang diberlakukan rezim junta militer pascareferendum yang diadakan beberapa hari setelah terjadinya bencana angin topan di negara itu pada Mei 2008.
Posisi NLD dilematis. Jika NLD mendaftar berarti partai ini bisa menerima konstitusi baru yang sebelumnya mereka tolak.
Pemenang Hadiah Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi hanyalah satu dari sekitar dua ribu orang tahanan politik di Myanmar.
AS dan Eropa masih menjatuhkan sanksi terhadap negara anggota Perhimpunan Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) itu karena pelanggaran hak azasi manusia yang dilakukan rezim yang berkuasa. (R013/K004)
Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010