Jakarta (ANTARA) - Sejak awal terjadinya pandemi, bangsa ini seperti juga semua bangsa di dunia dihadapkan pada pilihan untuk memakan buah simalakama.
Tinggal di rumah tanpa tertular COVID-19 tapi kelaparan atau bekerja keluar rumah, kenyang, tapi bisa tertular wabah kapan saja. Keduanya sama-sama dihadapkan pada pilihan yang berujung nestapa kematian.
Sejatinya pariwisata sempat akan menjadi industri yang amat sangat menjanjikan menjelang awal terjadinya pandemi, terdukung dengan maraknya berbagai platform yang memudahkan mulai dari reservasi hotel, tiket, hingga akomodasi yang serba digital.
Itu didukung dengan gaya hidup generasi milenial dan Z yang haus akan mobilisasi untuk memenuhi kebutuhan eksistensi diri di media sosial. Maka kecenderungan untuk “mengeksploitasi” sektor pariwisata secara besar-besaran pun terjadi.
Pesawat terbang tanpa henti, bandara tak pernah tidur meski sejenak, batas-batas antarnegara menjadi hilang hanya dengan selembar dua lembar dokumen bernama paspor dan visa. Pariwisata terus bergerak tanpa mengenal jeda bahkan koma. Sampai tak pernah tahu kapan pada akhirnya akan menemukan titik.
Baca juga: Kampanye CHSE bentuk kesadaran keselamatan di kalangan pariwisata Bali
Bahkan perjalanan ibadah pun kerap kali menjadi bahan komersialisasi dan disandingkan sebagai alternatif pilihan jalan-jalan saat liburan. Menjadi sebuah ironi tersendiri.
Alam beserta isinya seiringkali sudah memberikan sinyal melalui bencana-bencana yang terjadi namun manusia sulit untuk mengindahkan peringatan. Maka Tuhan pun menurunkan pandemi untuk semua agar sadar terutama bagi mereka yang memahami.
Semua pun dikembalikan pada fitrahnya beberapa saat untuk berdiam diri sejenak dan merenungi betapa banyak kerusakan yang terjadi akibat eksploitasi demi industri yang mendukung pelancongan dan bepergian.
Maka mau tidak mau, sadar atau tidak, industri pariwisata inilah yang menjadi sektor yang terdampak paling berat atas pandemi yang terjadi.
Baca juga: Pemerintah kucurkan dana hibah pariwisata senilai Rp3,3 triliun
Senyum dan optimisme Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Wishnutama Kusubandio seketika berubah menjadi keprihatinan manakala ia dihadapkan pada kondisi yang terjadi saat ini.
Awalnya dunia pariwisata Indonesia menyimpan harapan besar kepada sosoknya yang dikenal kreatif tanpa batas dan penuh kejutan seperti saat menjadi otak di balik suksesnya panggung pembukaan Asian Games di Jakarta pada 2018.
Namun, langkahnya berubah menjadi demikian dilematis manakala dunia pariwisata ditutupi awan pandemi yang membawanya seperti masuk dalam masa sandyakala menuju kegelapan yang sunyi.
Protokol Kesehatan
Bagi Wishnutama, ia tak mungkin menyarankan masyarakat untuk tetap tinggal di rumah saat liburan lantaran sama artinya membiarkan industri pariwisata mati suri akibat ketiadaan pengunjung.
Namun mendorong masyarakat bepergian juga bukan pilihan yang bijaksana di tengah wabah virus corona yang masih mengintai.
Maka pilihan terbaiknya adalah menyarankan agar semua pihak menerapkan protokol kesehatan dengan sangat ketat. Tak cuma dalam diri setiap individu namun juga pada pelaku industri pariwisata.
Wishnutama bersama para pemangku kepentingan terkait memang telah menyusun protokol kesehatan berbasis CHSE (Cleanliness, Healthy, Safety, and Environmental Sustainability) di samping berbagai program dukungan yang lain.
Pelaku pariwisata yang juga penasihat Asosiation The Indonesian Of Tour and Travel Agencies (Asita) Chapter DIY, Edwin Ismedi Himna, mengakui libur panjang ataupun cuti bersama di masa pandemi tak berarti banyak bagi pelaku pariwisata saat ini.
Ia merasakan kinerja sektor pariwisata yang melambat sejak awal terjadinya pandemi hingga sempat berhenti total. Bahkan Bali pun tercatat mengalami kinerja pariwisata terburuk sepanjang sejarah sejak Perang Dunia II.
Harus diakui bagaimana kini akomodasi demikian sepi, tamu-tamu pun bisa dihitung dengan jari sebelah tangan, dan bus-bus pariwisata berselimut debu di parkiran tanpa pernah dioperasikan ke jalanan.
Pilihan terbaik bagi mereka saat ini adalah shifting ke industri lain sejenak agar bisa bertahan sebagaimana misalnya maskapai Thai Airways yang banting setir berjualan roti goreng.
“Stay Vacation”
Masa libur panjang akhir bulan ini memang cukup lama, yaitu mulai 28 Oktober 2020 hingga 1 November 2020. Ini akan menjadi masa-masa kritis sekaligus pertaruhan bagi Indonesia dalam kaitannya dengan naik turunnya angka kasus COVID-19.
Terlebih ada kecenderungan masyarakat Indonesia yang komunal, suka berkumpul, dan mudah terpesona dengan kerumunan. Maka Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19 dr Reisa Brotoasmoro misalnya menjadi pihak yang menyimpan kekhawatiran paling tinggi karena libur panjang dan bepergian berpotensi terhadap penularan COVID-19.
Oleh karena itu, wajar jika ia menyarankan bahkan mengkampanyekan staycation (stay vacation) atau berlibur di rumah sebagai pilihan terbaik karena dinilai paling aman dan masyarakat dapat mengendalikan lingkungan tempat tinggalnya. Bahkan dapat melibatkan seluruh anggota keluarga.
Baca juga: Kota-kota favorit untuk staycation jelang cuti bersama akhir Oktober
Staycation bisa dijadikan kesempatan menjalankan protokol kesehatan keluarga yang telah disusun Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA).
"Rumah dibersihkan dan didisinfeksi secara rutin. Pastikan peredaran udara segar dan lancar dengan membuka ventilasi atau jendela, biarkan sinar matahari masuk," kata Reisa.
Menurut dia, meski berlibur di rumah saja, namun bisa tidak kalah seru dibandingkan berlibur di luar rumah. Sebab banyak hal yang dapat dilakukan mulai tur virtual ke tempat-tempat wisata seperti museum dan sejenisnya.
Bisa juga memanfaatkan internet untuk menonton konser musik, film, atau membuat permainan seru bersama anggota keluarga bahkan berolahraga bersama.
Meski demikian, Reisa tak mungkin melarang, bagi masyarakat yang tetap memutuskan untuk bepergian keluar kota. Ia mengingatkan agar masyarakat memilih moda transportasi yang menerapkan protokol kesehatan dengan ketat. Seperti maskapai penerbangan atau kereta api.
"Bagi yang memakai transportasi umum, pastikan jadwalnya sudah dipilih dari jauh hari. Agar dapat menjauhi kerumunan atau bahkan antrian panjang. Dalam perjalanan wajib memakai masker, hindari makan atau minum, hindari mengobrol panjang di bus atau kereta" ujarnya.
Baca juga: Seberapa aman menginap di hotel di masa adaptasi kebiasaan baru?
Untuk masyarakat yang bepergian dan harus menginap, maka pilihlah hotel atau akomodasi yang patuh dan disiplin menerapkan sanitasi dan protokol kesehatan.
Lalu untuk masyarakat yang tetap bekerja di luar rumah selama masa libur panjang, tetap ikuti protokol kesehatan atau arahan Satgas COVID-19 tingkat perusahaan serta melaporkan karyawannya yang bepergian keluar kota.
Tak lupa, ia kembali menginformasikan bagi masyarakat yang ingin mendapatkan panduan selama libur panjang dapat berkunjung ke situs resmi pemerintah di alamat Covid-19.go.id.
Atau bisa berkunjung ke situs resmi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Pemuda dan Olahraga dan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif atau bisa menelepon ke nomor 119 ekstensi 9 jika memerlukan informasi lebih lanjut.
"Ingat, berlibur itu baik untuk kesehatan psikologis kita. Tetapi, tidak mengurangi tanggung jawab kita melindungi diri dan orang lain dari risiko COVID-19. Sikap bertanggung jawab juga baik untuk kesehatan mental, melindungi diri artinya melindungi orang lain juga dan pada akhirnya melindungi Indonesia," kata Reisa.
Pada akhirnya, pilihan ekonomi atau kesehatan akan kembali pada diri masing-masing, tanpa perlu menyalahkan siapapun.
Staycation juga tak akan berarti sandyakala apabila pelaku usaha tetap kreatif dan inovatif, meski semua tahu bahwa jatuh itu sakit. Namun bahkan maskapai besar pun tak malu berjualan roti goreng.
Baca juga: Tren wisata normal baru, destinasi dekat rumah semakin dilirik
Baca juga: Usai pandemi, "staycation" diprediksi jadi pilihan utama berlibur
Editor: Subagyo
Copyright © ANTARA 2020