Jakarta (ANTARA) - Sebelum virus corona tipe baru menyebar melintasi batas negara dan dunia dalam hampir setahun terakhir, dunia telah mengalami sejarah panjang pandemi, salah satunya adalah wabah flu Spanyol.

Menurut sejarawan Universitas Indonesia Tri Wahyuning M Irsyam, kondisi pandemi COVID-19 yang sedang melanda dunia saat ini, mirip dengan pandemi flu Spanyol pada 1918-1919.

Penyakit itu juga mewabah di Indonesia, yang pada masa itu disebut Hindia Belanda. Pemerintah kolonial rutin berkeliling menggunakan mobil untuk menyosialisasikan betapa mematikannya virus flu tersebut dan warga diimbau untuk berada di rumah dan menjaga kebersihan.

Tri mengatakan bahwa pada saat itu terdapat perbedaan sudut pandang antara pemerintah kolonial dengan masyarakat Hindia Belanda dalam menanggapi flu Spanyol.

“Masyarakat memandang penyakit tersebut bersumber dari alam seperti debu, angin, dan lain-lain. Sementara pemerintah kolonial melihat sumber penularan berasal dari luar, yaitu dari orang-orang pendatang yang menjadi pembawa virus,” ujarnya.

Tri menjelaskan pada masa awal flu Spanyol menyebar, hampir tidak ada pemerintah maupun negara di dunia yang siap meresponsnya. Ketidaksiapan itu terlihat dari penanganan yang lamban.

Ketika penyakit itu mulai mewabah, dengan beberapa orang mulai memperlihatkan gejala-gejala tertentu, para petinggi sejumlah negara seolah-olah abai dengan fenomena yang terjadi di masyarakat.

Begitu pula dengan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Ketika sudah ada laporan dari daerah melalui telegram yang menyatakan sudah ada banyak korban, di antaranya di Bali dan Banyuwangi, laporan itu tertahan selama berbulan-bulan di lembaga yang secara administratif setara dengan sekretariat negara.

“Karena tidak mendapat tanggapan, pemerintah kolonial di daerah akhirnya menjadi panik dan menyerahkan kepada masyarakat agar bertindak sendiri,” kata Tri. Ia menambahkan bahwa masyarakat Hindia Belanda lebih mengandalkan obat-obatan tradisional seperti jamu untuk memulihkan diri.

Menginfeksi sekitar 500 juta orang ---atau sepertiga populasi dunia saat itu--- dengan perkiraan 50 juta kematian, flu Spanyol disebut wabah penyakit terburuk pada abad 20.

Flu Spanyol disebabkan oleh virus H1N1 dengan gen yang berasal dari unggas. Meskipun tidak ada konsensus universal tentang dari mana virus berasal, virus tersebut menyebar ke seluruh dunia selama 1918-1919.

Di AS, virus ini pertama kali diidentifikasi pada personel militer pada musim semi 1918. Virus kemudian menyebar ke seluruh dunia, melalui jalur-jalur pelayaran dan perdagangan di sepanjang Amerika Utara, Eropa, Asia, Afrika, Brazil, hingga pulau paling terpencil di Pasifik.

Meskipun virus H1N1 dari tahun 1918 telah disintesis dan dievaluasi, sifat-sifat yang membuatnya begitu merusak tidak dipahami dengan baik.

Tidak ada vaksin untuk melindungi orang dari infeksi influenza, tidak juga antibiotik untuk mengobati infeksi bakteri sekunder yang dapat dikaitkan dengan infeksi influenza. Dengan keadaan seperti itu, upaya pengendalian di seluruh dunia terbatas pada intervensi nonfarmasi seperti isolasi, karantina, kebersihan diri yang baik, penggunaan disinfektan, dan pembatasan pertemuan publik ---yang diterapkan secara tidak merata.

Sebagian besar orang yang terinfeksi flu Spanyol meninggal dengan cepat setelah timbul gejala, sering kali dengan pendarahan akut pada paru-para atau edema paru, dalam waktu kurang dari lima hari.

Berdasarkan catatan Pusat Nasional untuk Informasi Bioteknologi, Perpustakaan Nasional Kedokteran AS, ratusan autopsi yang dilakukan pada 1918 menunjukkan bahwa kematian orang-orang disebabkan oleh pneumonia dan kegagalan pernapasan.

Temuan ini konsisten dengan infeksi oleh virus influenza yang beradaptasi dengan baik dan mampu bereplikasi dengan cepat ke seluruh saluran pernapasan.

Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat mencatat tingginya tingkat kematian terjadi pada kalangan orang yang berusia kurang dari 5 tahun, 20-40 tahun, serta pada usia di atas 65 tahun.

Angka kematian yang tinggi pada orang sehat, termasuk kelompok usia 20-40 tahun, merupakan ciri unik pandemi ini. Angka kematian pada usia 15 sampai 34 tahun karena influenza dan pneumonia adalah 20 kali lebih tinggi pada 1918 dibandingkan tahun-tahun sebelumnya

Universitas Stanford mencatat, pandemi influenza ini menyebabkan penurunan drastis harapan hidup secara global. Di AS sendiri, pengaruhnya begitu parah sehingga rata-rata harapan hidup tertekan selama 10 tahun.

Flu Spanyol mewabah pada akhir Perang Dunia I, ketika bangsa-bangsa telah berusaha mengatasi dampak dan biaya perang.

Tumbuhnya jiwa nasionalisme membuat orang-orang menerima aturan pemerintah, yang memungkinkan otoritas kesehatan dengan mudah turun tangan dan menerapkan langkah-langkah pembatasan untuk menanggulangi pandemi.

Bukan dari Spanyol

Meskipun disebut flu Spanyol, virus H1N1 yang menyebar secara global pada 1918-1919 bukan berasal dari negara Eropa itu.

Menurut sejumlah sumber, termasuk publikasi daring ilmiah Our World in Data, wabah influenza ini tidak terbatas di Spanyol dan bahkan tidak berasal dari sana.

Dinamai demikian karena Spanyol adalah pihak netral dalam Perang Dunia I (1914-1818), yang berarti bebas melaporkan tingkat keparahan pandemi, sementara negara-negara yang bertempur mencoba untuk menyembunyikan laporan tentang bagaimana influenza berdampak pada penduduk mereka, juga untuk menjaga moral dan tidak tampak lemah di mata musuh.

Asal muasal penyakit flu yang mematikan itu tidak diketahui di tengah banyaknya spekulasi.

Beberapa negara sekutu menganggap epidemi sebagai alat perang biologis Jerman. Banyak pula yang mengira penyakit itu adalah hasil dari perang parit, penggunaan gas mustard, dan asap yang dihasilkan dari perang tersebut.

Sebuah kampanye nasional bahkan mulai menggunakan retorika siap perang untuk melawan musuh baru berukuran mikroskopis itu.

Dalam kasus flu Spanyol 1918, dunia mula-mula percaya bahwa penyebarannya telah berhenti pada musim semi 1919, tetapi melonjak lagi pada awal 1920.

Seperti jenis flu lainnya, flu ini mungkin menjadi lebih aktif pada bulan-bulan musim dingin. karena orang menghabiskan lebih banyak waktu di dalam ruangan dengan jarak yang lebih dekat satu sama lain, ujar dokter dan direktur Pusat Sejarah Kedokteran di Universitas Michigan, Howard Markel.

Flu “cenderung mereda saat cuaca dingin turun, tetapi tidak ada yang tahu mengapa,” kata Markel seperti dilaporkan TIME.

Namun, pada pertengahan 1920, jenis flu yang mematikan itu sebenarnya telah cukup memudar sehingga pandemi berakhir di banyak tempat, meskipun tidak ada pernyataan dramatis atau mengesankan bahwa akhir itu telah tiba.

“Akhir pandemi terjadi karena virus tersebut beredar di seluruh dunia, menginfeksi cukup banyak orang sehingga populasi dunia tidak lagi memiliki cukup orang yang rentan sehingga virus tidak berkembang menjadi pandemi sekali lagi,” kata sejarawan medis J. Alexander Navarro, Asisten Direktur Pusat Sejarah Kedokteran Universitas Michigan.

“Ketika cukup banyak orang mendapatkan kekebalan, infeksinya perlahan-lahan akan mati karena lebih sulit bagi virus untuk menemukan inang baru yang rentan,” kata dia.

Namun, akhir dari pandemi 1918 bukan hanya akibat dari begitu banyak orang yang terjangkit sehingga kekebalan menjadi meluas.

Penerapan pembatasan sosial juga menjadi kunci. Imbauan kesehatan masyarakat untuk mengekang penyebaran virus penyebab flu Spanyol sangat mirip dengan yang diberlakukan di banyak negara saat ini, guna memerangi pandemi COVID-19.

Masyarakat dunia didorong untuk tetap sehat melalui kampanye yang mempromosikan pemakaian masker, sering mencuci tangan, karantina dan mengisolasi pasien, juga penutupan sekolah, ruang publik, dan bisnis yang tidak penting.

Semua langkah itu dirancang untuk memotong rute penyebaran virus.


Baca juga: Cegah resesi dengan belajar dari penanganan Flu Spanyol

Baca juga: Antropolog Unair: Isolasi dan masker berperan kendalikan Flu Spanyol

Baca juga: Sejarawan UI sebut pandemi COVID-19 mirip wabah flu spanyol 1918


Saat Flu Spanyol melanda Tanah Air pada 1918

Editor: Tia Mutiasari
Copyright © ANTARA 2020