Kami terus berkomitmen untuk mencegah peredaran pupuk maupun pestisida palsu karena terkait dengan petani dan mereka yang sangat dirugikan

Jakarta (ANTARA) - Kementerian Pertanian (Kementan) bersama kalangan industri produsen pestisida menyatakan tekad untuk terus memerangi peredaran obat-obatan pembasmi hama ilegal maupun palsu di pasaran.

Dirjen Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementan Sarwo Edhy Prabowo di Jakarta, Jumat menyatakan, peredaran pestisida ilegal serta palsu marak terjadi di lapangan karena permintaannya sangat tinggi di kalangan petani.

"Kami terus berkomitmen untuk mencegah peredaran pupuk maupun pestisida palsu karena terkait dengan petani dan mereka yang sangat dirugikan," ujarnya.

Menurut dia, pihaknya sudah mencabut izin edar lebih dari 1000 produk pestisida yang diketahui palsu, menghentikan sementara serta memberikan pengertian kepada para pelaku tindakan tersebut.

Edhy yang juga Ketua Komisi Pestisida tersebut menyatakan, hingga Juni 2020 jumlah pestisida yang terdaftar di Kementan sebanyak 5.103 formulasi terdiri jenis insektisida 1.730 formulasi, herbisida 1.336 formulasi.

Sisanya sebanyak 2.037 formulasi terdiri dari fungisida, rodentisida, pestisida rumah tangga dan lain-lain.

"Peredaran pestisida palsu ini sangat merugikan petani karena harganya sama dengan produk asli tapi mutunya lebih rendah," ujarnya dalam Seminar Nasional Anti Pemalsuan/Anti Counterfeit Produk.

Pada kesempatan itu pihaknya mendorong produsen pestisida untuk mendaftarkan hak paten, hak cipta, merek dagang, varietas tanaman serta indikasi geografi sebagai upaya pencegahan pemalsuan pestisida.

Guru Besar Faktultas Pertanian IPB Prof. Dr. Ir Dadang MSc menyatakan penggunaan produk obat-obatan pembasmi tanaman di pertanian dapat mencapai 20-30 persen dari keseluruhan biaya produksi.

Dia mencontohkan di sentra bawang merah Kabupaten Brebes Jawa Tengah yang tinggi tingkat peredaran pestisida palsunya dengan luasan 30 ribu ha per tahun dan biaya pestisida dalam sekali budidaya 20-30 persen/ha diperkirakan mencapai Rp900 miliar per tahun.

Direktur Eksekutif Croplife Indonesia Agung Kurniawan menyatakan peredaran pestisda palsu dan ilegal tidak hanya merugikan petani namun juga mengganggu terwujudnya program pemerintah swasambeda dan ketahanan pangan.

"Oleh karena itu, kami terus menyebarluaskan pemahaman dan pengetahuan tentang bahaya perederan pestisida palsu dan ilegal kepada pihak-pihak terkait seperti petani, penyuluh lapangan maupun kios-kios pertanian," ujarnya.

Selain itu, lanjutnya dalam seminar bertajuk "Sinergi Penegakan Hukum (Anti Pemalsuan) dalam Upaya Pencapaian Program Swasembada dan Ketahanan Pangan", pihaknya juga bersinergi dengan aparat kepolisian untuk melakukan penegakan hukum terkait perederan pestisida palsu dan ilegal tersebut.

Pada Februari 2019 kolaborasi antara Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Brebes, Polres Brebes dan Kejaksaan Negeri Brebes berhasil membongkar sindikat peredaran pestisida palsu dan menyeret pelakunya ke pengadilan serta menjatuhkan hukuman pidana.

Kemudian pada awal 2020 kembali Polres Brebes berhasil mengungkap jaringan pemalsu pestisida yang berkedok sebagai pengepul wadah kemasan pestisida dengan barang bukti 10 ton kemasan bekas pestisida berbagai jenis serta ratusan kemasan pestisida palsu yang siap eder ke sejumlah wilayah antara lain Medan, Lampung dan Pulau Jawa.


Baca juga: Banyak daerah tak sediakan anggaran pengawasan pupuk dan pestisida

Baca juga: Pasar pestisida palsu diperkirakan Rp400 miliar

Baca juga: Petani Yogyakarta agar waspada pestisida palsu

Baca juga: Gudang pestisida ilegal di Jateng digrebek, beroperasi sejak 1998

Pewarta: Subagyo
Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2020