Jakarta (ANTARA) - Mantan Rektor IPB University Prof Dr Herry Suhardiyanto menilai Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker) harus mampu mengatasi persoalan ketenagakerjaan yang sebagian masih dilatarbelakangi oleh rendahnya tingkat pendidikan tenaga kerja Indonesia.
“Konfigurasi latar belakang pendidikan merupakan cerminan kualitas tenaga kerja. Sehingga peran pendidikan tinggi sangat krusial dalam membentuk lulusan-lulusan yang berkualitas serta match dengan kebutuhan tenaga kerja di lapangan,” kata Herry melalui siaran pers yang diperoleh ANTARA di Jakarta, Kamis.
Ia mengatakan setelah pengesahan UU Ciptaker baru-baru ini, sektor ketenagakerjaan masih menjadi hal yang mengundang perdebatan. Di lain sisi, sektor pendidikan juga menjadi sorotan karena terjadinya perubahan pada ranah riset dan inovasi.
Herry yang pernah menjabat Rektor IPB dua periode pada 2008-2012 dan tahun 2013-2017 itu mengatakan bahwa lingkaran persoalan ketenagakerjaan dan mutu pendidikan masih menjadi cerita lama yang belum dapat diselesaikan.
Sumber daya manusia (SDM) di Indonesia sebagai aspek suplai relatif masih memiliki produktivitas dan kualitas yang rendah, tidak sebanding dengan pertumbuhan ekonomi saat ini.
Kesenjangan antara kebutuhan dan penyediaan tenaga kerja makin lebar. Ditambah lagi dengan ketidaksinkronan antara institusi pendidikan dan dunia kerja baik secara vertikal maupun horizontal.
Menurut Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian IPB University itu, ketertinggalan tenaga kerja Indonesia dalam hal kualitas dan produktivitas perlu menjadi perhatian. Hal itu disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan serta kegiatan produksi yang masih didominasi oleh sektor primer yang nilai tambahnya rendah.
Kemudian, selain menyinggung isu ketenagakerjaan yang dilatarbelakangi rendahnya tingkat pendidikan tenaga kerja Indonesia, ia juga menyoroti kenaikan investasi yang tidak selalu meningkatkan penyerapan tenaga kerja. Terlebih setelah pengesahan UU Cipta Kerja.
Indonesia, katanya, harus berlomba untuk menghasilkan tenaga kerja yang berkualitas karena lambat laun dengan ditemukannya teknologi yang canggih, tenaga kerja dapat dengan cepat digantikan oleh mesin dan robot.
“Sehingga, saya kira kita perlu memikirkan agar perguruan tinggi ini dapat terus-menerus bekerja sama dengan employer, dengan learner dalam satu multi-location training yang meningkatkan persentase yang match tadi,” katanya.
Institusi pendidikan, menurutnya, juga memerlukan kesiapan metode untuk mengedukasi generasi milenial yang cepat berubah serta menyambungkan lulusannya dengan tantangan yang ada dari berbagai bidang. Jika memungkinkan, lulusan-lulusan tersebut didorong agar belajar ke negara lain, misalnya Jerman, yang berhasil menekan angka pengangguran dengan mengembangkan sistem VET (Vocasional Education and Training) yang sangat maju.
Sistem tersebut dapat menjelaskan bagaimana industri dapat berperan dalam pendidikan vokasi sebagai upaya untuk mengarahkan mahasiswa ke level market dengan berbagai aktivitas dalam institusi bisnis maupun menyediakan lapangan kerja.
Dalam penjelasannya, Herry memberikan catatan mengenai posisi, modifikasi dan arah pendidikan tinggi pada kerangka UU Cipta Kerja.
Ia mengatakan bahwa fungsi pendidikan tinggi harus dilihat secara komprehensif dalam upaya mencetak tenaga kerja yang berkualitas sehingga UU Cipta Kerja harus memandang investasi di sektor pendidikan dalam perspektif investasi yang panjang.
Ia menilai UU Cipta Kerja yang mengatur pendidikan di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) masih belum sesuai dengan prinsipnya sebagai sarana umum yang seharusnya dapat diakses seluas-luasnya.
Herry menekankan bahwa UU Ciptaker seharusnya langsung berfokus pada perbaikan ekosistem pendidikan tinggi, riset, dan inovasi dalam rangka meningkatkan daya saing bangsa serta sebagai upaya pengembangan sumber daya manusia yang kompeten dan berintegritas.
Baca juga: IPB University berkomitmen bantu desa buat data desa presisi
Baca juga: Pakar IPB: "blockshain" bisa dikembangkan pada industri sawit
Pewarta: Katriana
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2020