Jakarta (ANTARA) - Penasihat hukum mantan Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi, Maqdir Ismail, membeberkan sejumlah keanehan dalam dakwaan kliennya.
"Suap terhadap Pak Nurhadi terkait pengurusan perkara PK (Peninjauan Kembali), menurut hemat saya sesuatu yang tidak mungkin dan tidak benar," kata Maqdir di Jakarta, Kamis.
Dalam perkara ini Nurhadi dan menantunya Rezky Herbiyanto didakwa menerima suap Rp45,726 miliar dan gratifikasi Rp37,287 miliar sehingga total uang yang diduga diterima keduanya mencapai Rp83,013 miliar.
Suap itu disebut diterima dari Direktur Utama PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) 2014-2016 Hiendra Soenjoto terkait pengurusan dua gugatan hukum.
Gugatan pertama adalah perkara antara PT MIT melawan PT Kawasan Berikat Nusantara (KBN) terkait perjanjian sewa-menyewa depo container milik PT KBN seluas 57.330 meter persegi dan 26.800 meter persegi yang terletak di wilayah KBN Marunda kav C3-4.3, Marunda, Cilincing, Jakarta Utara. Gugatan kedua adalah perkara antara Hiendra Soenjoto melawan Azhar Umar.
Baca juga: Eks Sekretaris MA Nurhadi sebut seluruh dakwaan tidak benar
"Ketidakbenaran pertama, dari sisi angka yang suap saja tidak mungkin. Penggunaan uang dalam bentuk pecahan seperti yang didakwakan tidak masuk di akal, tidak mungkin akan ada hitungan seperti ini," ungkap Maqdir.
Kedua, menurut Maqdir, sumber yang memberi keterangan tentang suap tersebut hanya bersumber dari saksi Iwan Cendekia Liman yang berdasarkan pembicaraan dengan Rezky Herbiyono.
"Betul bahwa ada transaksi pinjam meminjam dan batuan pengurusan pinjam kepada bank antara Rezky Herniyono dengan Pak Nurhadi, akan tetapi kesepakatan mereka ini di luar pengetahuan Pak Nurhadi," tambah Maqdir.
Ketiga, menurut Maqdir, Hiendra Soenjoto sebagai "pemberi suap" juga belum pernah diperiksa oleh penyidik.
Keempat, Nurhadi menurut Maqdir bukan orang berwenang memutus perkara karena bukan hakim dan panitera perkara yang mengurus perkara.
Kelima, penerimaan yang disebut sebagai suap tersebut tidak pernah dilakukan Nurhadi.
"Maka cerita suap-menyuap ini hanya asumsi dan pendapat yang tidak mengandung kebenaran dan tidak berdasarkan bukti," ungkap Maqdir.
Terkait hubungan Rezky dan Hiendra, Maqdir menjelaskan setoran modal Hiendra kepada Rezky ini sudah dikembalikan oleh Rezky dan penerimaan uang dari Hiendra kepada Rezky terjadi setelah PK perkara Hiendra diputus dan dikalahkan oleh MA.
"Jadi tidak masuk akal kalau dikatakan Hiendra menyuap untuk perkara yang sudah diputus kalah," tambah Maqdir.
Baca juga: Eks Sekjen MA Nurhadi dan menantu didakwa terima suap Rp45,726 miliar
Sedangkan dalam dakwaan kedua, Nurhadi dan Rezky didakaw menerima gratifikasi senilai Rp37,287 miliar pada periode 2014-2017, Maqdir juga membeberkan sejumlah alasan versi kliennya.
"Dalam dakwaan dikatakan Pak Nurhadi menerima uang sebasar Rp 2,4 miliar dari Handoko Sutjitro, melalui Rezky Herbiyono dalam penguruan perkara perdata di PN Surabaya, tapi menurut keterangan Handoko, transaksi antara dia dengan Rezky karena ada jual beli mobil," ungkap Maqdir.
Selanjutnya terkait penerimaan uang sebesar Rp2,7 miliar dari Renny Susetyo Wardhani menurut Maqdir adalah jual beli rumah dan tanah yang kemudian dibatalkan.
Kemudian mengenai penerimaan Rp7 miliar dari Donny Gunawan menurut Maqdir yang terjadi adalah pinjam-meminjam uang antara Donny dan Rezky berikut bunganya.
Lalu penerimaan sebesar Rp23,5 miliar dari Freddy Gunawan hanya menduga uang diserahkan oleh Rahmat Santoso selaku pengacara yang mengurus perkara kepada Nurhadi, sedangkan keterangan Rahmat Santoso tidak ada uang yang diberikan Nurhadi maupun Rezky Herbiyono.
Terakhir, uang Rp1,687 miliar dari Riadi Waluyo untuk pengurusan perkara pradata di Denpasar, Maqdir menilai uang tersebut ditransfer kepada Calvin Pratam untuk membeli emas batangan.
"Jelas bahwa dakwaan terhadap Pak Nurhadi ini telah disusun tidak berdasarkan fakta berdasarkan keterangan saksi, dakwaan ini terlalu dipaksakan," kata Maqdir.
Baca juga: Nurhadi dan menantunya didakwa terima gratifikasi Rp37,287 miliar
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2020