Makassar (ANTARA News) - Hiruk-pikuk suasana Asrama Haji Sudiang, Makassar, Sulawesi Selatan, secara berangsur-angsur mulai mereda. Kontingen dari 33 provinsi ditambah cabang istimewa peserta Muktamar Nahdlatul Ulama (NU), yang berkedudukan di luar negeri, meninggalkan asrama dan pondokan secara bertahap.
Pada malam penutupan muktamar ke-32 Nahdatul Ulama (NU), Sabtu (27/3), sebagian dari sekitar 3.500 muktamirin (peserta muktamar) mulai meninggalkan asrama, sedang selebihnya kembali ke daerah masing-masing pada 28 - 29 Maret 2010.
Kegiatan akbar bagi warga NU yang berlangsung 23 - 27 Maret 2010 itu, telah menyedot perhatian masyarakat dan pemerintah di daerah ini, karena merupakan kesempatan perdana muktamar NU digelar di Kawasan Timur Indonesia (KTI) atau yang keempat kalinya dilaksanakan di luar Jawa, setelah Banjarmasin, Palembang dan Medan.
"Kegiatan ini membawa berkah bagi Kota Makassar, khususnya sektor industri perhotelan dan warga di sekitar lokasi muktamar," kata Walikota Makassar, H. Ilham Arif Sirajuddin.
Dampak positif dari muktamar tersebut, berdasarkan data Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Sulsel diketahui, tingkat hunian hotel selama sepekan mencapai 100 persen dari 4.235 kamar dan telah memberikan pendapatan sekitar Rp2,8 miliar.
Sementara itu, bagi warga di sekitar Asrama Haji Sudiang turut kecipratan rezeki dari hasil penyewaan rumahnya untuk muktamirin yang tidak tertampung di asrama.
Hal itu diakui salah seorang pemilik rumah permanen di kawasan Sudiang yang menyewakan rumahnya, Nur Baya.
Menurut dia, bersama keluarganya rela mengungsi ke rumah saudara demi mendapatkan penghasilan Rp10 juta dalam sepekan.
Selain warga yang memiliki rumah di sekitar asrama yang merasakan dampak positif kegiatan akbar itu, pedagang kaki lima (PKL) yang berjualan aneka buah, minuman, makanan khas Sulsel, seperti Coto Makassar, Pallubasa dan Konro hingga pulsa turut merasakan manfaatnya.
Semua itu, tidak terlepas dari peranan masyarakat setempat yang membantu menyukseskan kegiatan yang pembukaanya diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu, mampu memberikan rasa aman dan kondusif.
"Melalui kegiatan ini, Makassar mampu membuktikan bahwa aman untuk kegiatan berskala besar. Padahal sebelumnya, banyak yang khawatir jika kota ini begitu mencekam dan selalui diwarnai aksi demo," kata Walikota Makassar.
Sementara itu, setelah melalui proses panjang yang diawali sidang komisi-komisi, kemudian sidang pleno, akhirnya pada ajang pemilihan Ketua Umum PBNU dan Rais `Aam nama KH Said Aqil Siraj dan Sahal Mahfudz mendapat kepercayaan memimpin NU periode 2010 - 2015.
Sejumlah nama kader terbaik NU muncul pada sidang penjaringan nama calon ketua umum PBNU, seperti Salahuddin Wahid yang tidak lain adalah adik kandung almarhum Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Slamet Efendy Yusuf, Ulil Abshar Abdalla, Masdar Fuad Mas`udi, Ali Maschan Moesa, Abd Azis, Hasyim Muzadi dan Ahmad Bagja.
Namun, sesuai dengan tata tertib yang telah disepakati, hanya calon yang mampu mendapatkan dukungan minimal 99 suara yang berhak maju pada pencalonan ketua umum PBNU dan ternyata hanya dua nama yang memenuhi syarat, yakni Said Aqil Siraj dan Slamet Efendy Yusuf.
Dalam proses pemilihat tersebut, Slamet ternyata harus berlapang dada menerima kemenangan Said yang mampu mengantongi 294 suara dari 495 suara yang dinyatakan sah.
Rasa haru pun menyeruak di ruangan Aula II Asrama Haji Sudiang, ketika kedua tokoh NU itu bersalaman dan berpelukan sebagai simbol keikhlasan menerima hasil demokrasi dalam Ormas Islam tersebut.
Pada pemilihan Rais `Aam dua nama yang menguat yakni KH Sahal Mahfudz yang merupakan mantan Rais `Aam periode 2005 - 2010 dan KH Hasyim Muzadi mantan ketua umum PBNU pada periode yang sama. Di tengah proses pemilihan itu, Hasyim mengundurkan diri sehingga Sahal akhirnya dinyatakan sebagai pemenang.
Saat ini pesta demokrasi di tubuh NU sudah usai, dan tinggal sejuta harapan dititipkan kepada dua tokoh NU itu untuk mengayomi dan menuntun sepertiga warga NU dari sekitar 220 juta warga Indonesia.
Mampukah spirit NU yang mengedepankan misi pendidikan, sosial kerakyatan dan dakwah itu dijabarkan kedua tokoh NU tersebut?
Pertanyaan itu yang masih menggantung dibenak para Nahdliyin maupun di luar komunitas NU. Bagaimana tidak, tokoh ulama NU diharapkan menjadi panutan, sekaligus pemikir dan pemberi pertimbangan akan suatu hukum dan fenomena yang terjadi di masyarakat.
Alasannya, peranan NU dalam mengembangkan sektor perekonomian dan pendidikan selama ini masih dirasakan kurang sekali, jika dibandingkan dengan perhatian NU terhadap urusan-urusan politik.
Padahal disadari, kedua sektor itu menjadi tumpuan utama dalam masyarakat. Sementara kuatnya orientasi politik telah mengurangi orientasi untuk membangun lembaga-lembaga pendidikan dan ekonomi.
Menurut Litbang PBNU, KH Ilmu Ali Yafie, kapasitas kedua tokoh NU terpilih itu tidak diragukan lagi. Hanya saja, pada masa kepemimpinan tokoh NU sebelumnya harus diakui Ormas Islam ini mengalami kemunduran pasca-kepemimpinan Gus Dur.
Menurut putra dari mantan Ketua PBNU, KH Ali Yafie, itu salah satu indikator kemunduran itu adalah fatwa-fatwa ulama NU tidak banyak diikuti orang (warga NU dan umat muslim).
"Selain itu, kurang terlibat dalam menentukan langkah strategis di bidang ekonomi dan pendidikan, juga kurang jelas pemihakannnya terhadap kaum minoritas atau masyarakat rentan," ujarnya.
Pengurus NU yang masih gamang dengan suasana baru pada masa reformasi, lanjutnya, melalui masa kepemimpinan Said dan Sahal diharapkan mampu membangun kembali kepekaan sosial lebih tinggi lagi.
Pengamat hubungan internasional dan bidang keagaman, Rusdi Ambo Dalle, mengatakan bahwa kepemimpinan Said menyimpan harapan besar, Ormas Islam ini selain berkiprah secara nasional, juga mampu berkiprah di dunia internasional.
Rusdi yang tak lain anak dari pendiri Pondok Pesantren Darul Dakwah wal Islamiyah (DDI) Mangkoso di Sulsel ini mengatakan, NU pada masa kepimpinan Gus Dur sangat dihargai di dunia internasional. Karena kejayaan itu diharapkan bisa kembali diraih, bahkan bisa melebihi ketokohan almarhum Gus Dur, cucu pendiri NU.
Kini, semua warga NU dan dunia ingin membuktikan apakah janji Said setelah memenangkan pertarungan ketua umum PBNU itu mampu dibuktikan ke depan.
"Saya tidak akan terlibat politik praktis, dan tidak akan menerima untuk dicalonkan sebagai presiden ataupun wakil presiden. Saya semata-mata hanya ingin mengurus kemaslahatan umat," demikian janji Said.
(T.S036/P003)
Oleh Oleh Suriani Mappong
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010