Jakarta (ANTARA News) - Ikatan alumni (Iluni) Fakultas Tekhnik Universitas Indonesia (UI) mendesak pemerintah agar memberikan insentif pajak bagi industri perkapalan Indonesia.
Menurut Wakil Ketua Iluni FTUI Agus Muldya Natakusumah di Jakarta, Sabtu, insentif pajak bagi industri perkapalan Indonesia hanya ada di Batam saja dan belum ada perlakuan yang sama untuk industri serupa di daerah-daerah lainnya.
"Selama ini hanya di Batam yang dikenakan tarif pajak nol persen. Itu pun mayoritas dimiliki asing" ujar Agus Muldya.
Dikatakannya bahwa meski ada imbas dari kebijakan penerapan kapal paling tua adalah 20 tahun serta melorotnya perekonomian dunia, jasa perbaikan kapal masih cukup menarik sebagai salah satu alternatif investasi di Indonesia. Tujuan akhir dari sektor industri itu, menurut dia, tentunya bangsa Indonesia harus mampu membuat kapal dan bukan dimanfaatkan perairannya saja.
"Pada tahun tertentu, bisa jadi 100 persen kapal harus produksi galangan kapal di Indonesia," katanya.
Atau secara bertahap, ia menambahkan, harus ditetapkan bahwa setiap pengusaha pelayaran agar mengoperasikan kapal buatan Indonesia.
"Hal ini tentunya harus berbasis program dan kemungkinan yang realistis. Disamping itu pemerintah harus terus mengawal dan mensukseskan `cabotage` secara konsisten," katanya.
Menurut Agus, khusus untuk industri perminyakan lepas pantai (off shore) terindikasi "cabotage" itu belum dilakukan.
"Terkesan BP migas masih belum bisa mengintegrasikan kebutuhan kapal kapal untuk keperluan perminyakan di offshore, karena perusahaan minyak asing dengan cerdiknya menyiasati penyewaan dengan tender sesuai kebutuhannya yang hanya bulanan," katanya.
Dengan demikian tidak akan ada perbankan yang bisa membiayai pengusaha domestik apabila kondisi itu terus berlanjut. Karenanya pula, Agus menyarankan agar kepada mereka itu perlu dikenakan pajak yang tinggi.
Lebih lanjut Agus mengatakan bahwa Pertamina diharapkan menjadi contoh badan usaha yang punya komitmen terhadap pelaksanaan asas cabotage ini. Sejak tahun lalu, masih 56 kapal besar dioperasikan pengusaha berbendera asing dan saat ini hanya tinggal 11 saja.
"Kita tentu tidak ingin mendengar cerita yang berkembang akhir akhir ini atas keputusan pengadilan di London dalam bidang usaha migas yang mana hasil keputusan pengadilannya diindikasikan adanya kongkalikong pejabat Indonesia dengan pengusaha asing sehingga perusahaan asingnya dijatuhi hukuman," ujarnya.
(T.D011/R009)
Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010