Jakarta (ANTARA) - Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Nadia Fairuza, mengatakan peraturan turunan dari UU Nomor 18/2019 tentang Pesantren (UU Pesantren) diperlukan sebagai panduan pelaksanaan UU Pesantren di lapangan.

Nadia mengatakan sejak UU 18/2019 disahkan Oktober tahun lalu, pemerintah belum juga menerbitkan peraturan turunan dari UU tersebut.

“Pemerintah perlu segera menuntaskan amanat UU untuk menuntaskan peraturan turunan dari UU Pesantren. Hal itu akan menunjukkan seberapa serius komitmen pemerintah dalam menjaga dan mengembangkan eksistensi pesantren sebagai entitas pendidikan di Indonesia. Sebagaimana halnya sekolah umum, pesantren juga berkontribusi pada pendidikan nasional lewat santri-santri nya,” ujar dia, dalam pernyataan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis.

Ia menyatakan, penghapusan Bantuan Operasional Pesantren (BOP) dari RAPBN 2021 juga akan semakin menambah berat beban operasional pesantren, terlebih di masa pandemi seperti sekarang ini.

Ia menilai pesantren akan sulit bertahan apabila tidak ada asistensi dari pemerintah mengingat belum surutnya kasus Covid-19 di Indonesia dan masih adanya ancaman penyebaran hingga tahun depan.

Pemerintah sendiri sebenarnya telah mengalokasikan dana sebesar Rp2,6 triliun untuk pesantren, madrasah, hingga Lembaga Pendidikan Al-Quran (LPA) dalam rangka meminimalisir dampak Covid-19.

Baca juga: Sri Mulyani: Pesantren berperan penting, strategis, dan unik

Namun, menurut Nadia, anggaran pendidikan untuk pesantren selama pandemi Covid-19 belum mampu mengakomodir semua pesantren yang ada di Indonesia.

Karena dana tersebut juga harus dibagi dengan institusi pendidikan lain seperti madrasah, dan LPA.

Berdasarkan data Sistem Informasi Manajemen Pendidikan 2015, jumlah populasi pesantren di Indonesia berjumlah cukup banyak, yakni berjumlah 28.961 pesantren dengan 4.028.660 siswa di seluruh Indonesia pada tahun ajaran 2014/2015.

Sebagaimana yang terjadi pada sekolah umum, pandemi Covid-19 juga berdampak pada kegiatan belajar mengajar di pesantren. Selain pilihan untuk meliburkan, pembelajaran di pesantren pun diubah melalui pembelajaran jarak jauh.

Namun, sebagian pesantren yang terletak di wilayah terpencil belum tentu bisa mengadopsi jenis pembelajaran ini karena berbagai alasan, di antaranya adalah karena ketiadaan akses internet yang memadai di daerahnya.

Baca juga: Ini harapan Ma'ruf Amin tentang pesantren

Pada saat ini pun, sudah banyak pesantren yang kembali beroperasi dan menerima santri masuk. Hal itu tentu saja berpotensi menciptakan klaster-klaster Covid-19 di pesantren.

Implementasi UU Nomor 18/2019 tentang pesantren diharapkan mampu mengakomodir jenis-jenis pesantren yang ada di Indonesia.Salah satu dampak dari implementasi UU tersebut adalah pesantren akan menerima pendanaan lebih dari pemerintah pusat dan daerah.

Terkait pembiayaan, pesantren berada di bawah yurisdiksi Kementerian Agama, dan Kementerian Agama juga yang menjadi sumber pendanaan utama untuk pesantren.

Hal itu berbeda dengan sekolah umum yang sumber pendanaan berasal dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Ia memaparkan, bantuan keuangan utama pesantren datang melalui transfer tunai langsung dari Bantuan Operasional Sekolah (BOS) pemerintah pusat. BOS dihitung per-Santri, mulai dari pembayaran tahunan sebesar Rp 800.000 hingga 1.400.000 per santri tergantung pada tingkat pendidikan sekolah mereka.

Namun pesantren harus mengajarkan kurikulum nasional sebagai persyaratan untuk mendapatkan bantuan itu. BOS datang dalam berbagai bentuk tergantung pada jenis sekolah yang mereka dukung.

Baca juga: Ade Yasin libatkan santri kampanye prokes di 1.404 pesantren Bogor

Suatu pesantren yang secara resmi membuka madrasah (Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah) menerima BOS Madrasah.
Sementara itu pesantren lain yang mendirikan sekolah menengah (SMP atau SMA) menerima BOS reguler.

Pesantren yang tidak mengajarkan kurikulum nasional tidak berhak mendapatkan BOS kecuali mereka memiliki Pendidikan Diniyah Formal (PDF), Satuan Pendidikan Mu’adalah (SPM), atau Program Pendidikan Kesetaraan. Ketentuan ini tidak mencakup biaya sekolah asrama pesantren.

Namun, pesantren-pesantren yang tidak mengajarkan kurikulum nasional dapat menerima Bantuan Operasional Pesantren (BOP).

Mereka juga dapat menerima bantuan sesekali dari pemerintah pusat, sebagian besar untuk fasilitas dan infrastruktur, seperti ruang kelas, asrama, dan perpustakaan.

Namun bantuan ini harus diajukan lewat permintaan khusus. Setelah itu, mereka juga harus diverifikasi untuk memastikan kelayakannya dalam menerima bantuan.

Ia berpandangan, sebaiknya pemerintah tidak menggolongkan bantuan pesantren ke dalam satu kebijakan yang umum, mengingat keragaman jenis pesantren yang ada.

Baca juga: PPP minta pemerintah segera buat aturan pelaksana UU Pesantren

Pemerintah dinilai perlu mempertimbangkan beberapa hal dalam merumuskan kebijakan terkait pesantren. Yang pertama adalah perlunya sebuah sistem jaminan kualitas pesantren yang menghormati keragaman pesantren.

Pemerintah akan memberlakukan standar kurikulum minimum dengan mata pelajaran wajib di tingkat pesantren Ula, Wustha, dan Ulya, sesuai amanat UU Pesantren.

Untuk melestarikan dan menghargai tradisi akademis pesantren yang beragam, standar yang disetujui pemerintah ini hanya perlu beberapa jam perhari.

Mayoritas jam sekolah harus dialokasikan ke kurikulum khusus yang ditentukan oleh pesantren dan bukan oleh pemerintah.

”Pemerintah juga perlu memberikan kebebasan untuk menggunakan metode pelajaran. Penggunaan metode pengajaran standar hanya diperlukan untuk bagian kurikulum yang ditetapkan oleh pemerintah. Untuk mata pelajaran lain, pesantren idealnya terus mempertahankan wewenang untuk memilih metode pengajaran yang sesuai dengan kurikulum dan tujuan pembelajaran mereka,” katanya.

Baca juga: BI dorong potensi pesantren gerakkan ekonomi syariah inklusif

Pewarta: Abdu Faisal
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2020